Cerpen
Disukai
2
Dilihat
10,890
Cinta Dan Luka
Romantis

Nama pena : Iin Romita

Judul : Cinta dan luka



"Bersembunyi-lah disana, Jen. Papa dan Mama minta kamu jangan kemana-mana!" Pria paruh baya menunjuk sebuah tempat sempit untuk putri kecil mereka bersembunyi.


"Ya, Pa!" jawab seorang gadis kecil tanpa melihat wajah mereka. Menunduk, berjalan menggunakan kedua tangan dan lutut untuk sampai disana.


Dor! Dor! Suara timah panas dilesatkan berulang kali, ingin sekali berteriak tapi ketakutan melupakan segalanya.


"Keluarlah hai manusia terkutuk!"


Dor!! Dor!!


Terdengar kembali suara tembakan saling bersahutan di barengi teriakan seorang pria. Jeny kecil yang masih berumur delapan tahun terdiam ketakutan bersembunyi di bawah kolong meja.


Menutup kedua telinga, merapatkan kedua kaki, menenggelamkan wajahnya diantara lutut. 


Tubuhnya gemetaran. Tidak pernah ia melihat pemandangan ini sebelumnya. Keadaan rumah kacau tampak balau.


Jeny kecil penasaran, mencoba membuka ke dua bola matanya yang bulat dan berwarna abu, karena suara lesatan peluru sudah tidak didengarnya lagi, memberanikan diri untuk berjalan merangkak dan mengintip sumber suara dahysat yang memekik telinga itu.


Terlihat olehnya Clark dan Pearl berdiri di ambang kematian. Seorang pria bertubuh tinggi, tegap dengan penutup kepala hitam menodongkan pistol di kening Clark. 


Dan ... suara tembakan pun terdengar kembali. Jeny berteriak histeris. Menyaksikan semua di depan matanya.


"Tidak! Papa!!!"


Ia keluar dari tempat persembunyian-nya, dan berlari mendekati kedua tubuh terbujur dengan luka tembak di kening mereka.


"Papa! Mama!" teriak Jeny dengan air mata kesedihan yang sudah membasahi pipi. 


Ia menggoyangkan tubuh mereka secara bergantian. Tak satupun dari mereka yang bergerak, atau menyahuti panggilannya.


"Papa!! Mama!! Bangun ... Jenny mohon ... Jangan tinggalkan Jenny!!" Suaranya sudah mulai serak, dan hampir tidak dapat lagi terdengar keras.

"Mama ... Jenny masih kecil, jika kalian meninggalkan Jenny, putri Mama dan Papa ini akan tinggal bersama siapa?!" Gadis itu terisak-isak, sembari mengeringkan sisa air matanya dengan lengan kecilnya.

Dua matanya membulat, kulit wajahnya yang putih berubah merah, tapi apa yang bisa diperbuatnya saat ini, dalam usianya yang masih belia??!


Jenny kecil melirik pria yang masih berdiri di ambang pintu menatapnya.


"Om jahat!!" teriaknya, bangun dari tempatnya duduk, gegas berlari ke arah pria yang masih diam membatu itu.


"Om kejam!! Om tega membunuh Mama dan Papa Jenny!! Jenny tidak akan memaafkan kejahatan Om ini!! Ingat satu hal!! Jenny akan membalas perbuatan Om!!"

Pria itu mendorong tubuh kecil Jenny hingga ia jatuh tersungkur. Pandangannya berubah gelap, tubuhnya lunglai, tak lama kemudian tak sadarkan diri.


Pria itu berlari meninggalkan kediaman Clark. Dengan beban luka di hatinya.


"Shitt!!" dengusnya kesal.

"Kenapa?!" Seorang pria paruh baya mendaratkan bobot di sebuah kursi putar empuk bak kursi istana.

Menyulut sebuah cerutu dengan pemantik api, beberapa saat menghisap dan menyembulkan ke udara.

Pria dengan perawakan tinggi itu melepaskan penutup kepalanya dan membuangnya begitu saja ke lantai.

Ia berjalan mendekati pria yang masih duduk santai itu dengan wajah kesetanan.

"Ini semua gara-gara kau!! Aku telah membuat seorang gadis kecil menjadi Yatim-piatu!! Jahanam kau, Ayah!!" umpatnya, satu tangannya meringkus kerah kemeja tanpa mengaitkannya satu kancing atasnya.

"Cih!! Lembek sekali kau!!" Dengan meludah kesamping, ia mentertawakan putranya.

"Masa, hanya melihat seorang gadis kecil saja, sikapmu berubah! Seorang anak mafia tidak ada kamus kata kasihan!! Mengerti!!" Pria bertubuh sedikit gemuk itu berulang kali mengumpat.

"Ingatlah!! Clark dan istrinya yang telah membuat bisnis Ayah hancur!! Mereka yang menyebabkan kita jatuh miskin! Dan mereka jugalah yang membuat ibumu pergi meninggalkan Ayah! Mengerti!!" jelasnya kembali, mengulang penjelasannya yang sering didengar putranya.

Pria itu tidak lekas menjawab, menjauh untuk menenangkan pikiran adalah pilihan terbaik.

*****

Senja kini berganti dengan malam. Terlihat sinar cahaya rembulan menelusup melalui ventilasi kamar.

Melihat penanda waktu telah menunjukkan angka sembilan kurang sepuluh menit.

Raut wajah sedih gadis itu masih terpampang sempurna dipikirkan. Ingin memejamkan mata namun percuma, hanya menyita waktu.

Dengan cepat melompat dari atas ranjang, menyambar jaket kulit berwarna coklat di gantungan kamar. Berlari sembari memakainya asal.

Menginjak pedal gas untuk mengemudikan kendaraannya. Menambah kecepatan sampai pada menit ke dua puluh, mobil hitam mengkilat itu sampai di kediaman rumah--dimana ia melakukan kejahatannya tadi.

Tidak lekas turun, satu pasang netranya menelisik ke sekeliling tempat itu. Beberapa petugas kepolisian lalu lalang sedang berjaga, tiga lingkar garis kuning mengitari kediaman.

Ia berpura-pura menelusup diantara warga yang berkerumun.

"Apa yang sedang terjadi??" Pertanyaan memuakkan terpaksa ia lontarkan pada salah satu warga. Tidak terlalu suka berbasa-basi, namun ia masih membutuhkan informasi mengenai gadis kecil itu.

"Terdapat sebuah perampokan dan pembunuhan, sepasang suami istri pemilik rumah ini telah meninggal ditangan perampok itu. Polisi masih mengusut pelakunya." Jawaban yang didengar tidak terlalu membantu.

Bagaimana caranya ia dapat bertanya mengenai gadis itu?

"Apa di rumah itu hanya ada satu pasang suami istri saja? Tidak ada keluarga lain yang ikut terbunuh?!" Rasanya ia ingin masuk saja kerumah itu. Ingin mengetahui keberadaan gadis itu.

"Mereka memiliki anak perempuan, saat kejadian pembunuhan itu terjadi, ia bersembunyi di bawah kolong meja. Mungkin pelakunya tidak melihatnya, hingga ia selamat dari kasus penembakan itu." Masih memberikan jawaban yang mengambang.

'Bodoh!! To the points bisa gak'?! Jawaban pria ini terlalu berkelit!!' Hanya bisa bergumam, sepertinya ia harus belajar ilmu kesabaran saat ini.

"Lalu dimanakah anak itu?!" Berharap satu pertanyaan ini adalah pertanyaan terakhir dari mulutnya, dan ia bisa segera pergi.

"Puteri mereka dibawa pamannya keluar negeri, setelah memberikan kesaksian pada polisi. Ia mengalami trauma psikis yang hebat. Ia merahasiakannya dari warga, dan polisipun tidak diperkenankan bertanya kembali tentang kejadian yang dilihatnya tadi."

'Syukurlah ... Setidaknya ia masih memiliki keluarga yang mengadopsinya.'

Beberapa tahun kemudian ...


***


Brak !


"Maaf Nona!" 


Seorang pria berjas tanpa sengaja menabrak Jenny, yang sedang buru-buru mengadakan interview di sebuah perusahaan.


"Bisa Anda berjalan melihat depan?" sungutnya tidak terima. Semua berkas dalam map-nya berhamburan ke lantai keramik.


Keduanya duduk berjongkok dan merapikannya. Tanpa disadari tangannya memegang punggung tangan Jenny.


Jenny menatap wajah tampan dan berkarisma dihadapannya itu dengan jantung berdebar. Keduanya saling pandang satu sama lainnya.


'Bola mata itu ...?' gumamnya. Kembali ia fokus merapikan kertas yang tersisa.


Sampai ia menyesal harus berbicara buruk karena reflek. Menurutnya pria itu sangat perfect.


"Maaf!" ucapnya singkat. Dengan menyerahkan tumpukan kertas pada Jenny.


"Ah! Tidak apa-apa! Maaf aku buru-buru, ada interview pagi ini," ucap Jeny. Ia menunduk dan berlalu darinya.


Dengan langkah panjang sampai juga di perusahaan yang memintanya datang pagi itu.


'Ah! Jika saja aku tidak buru-buru, aku ajak pria itu ngopi dulu di ruangan khusus. Sambil ngobrol-ngobrol,' ucapnya tanpa suara. Sembari beberapa kali membela nafas kasar, menutupi kegugupannya.


Seorang wanita menyuruh Jenny masuk ke ruangan direktur utama. 


"Permisi, Pak!" sapanya. Langkahnya terhenti setelah melihat kursi putar yang menyembunyikan wajah pemilik ruang itu. Pria itu membelakanginya. Membuatnya bertambah gugup.


Kursi mulai bergerak, seketika Jenny terkejut melihat pria yang tadi menabraknya adalah seorang direktur utama diperusahaan itu.


"Anda?" ucapnya melongo.


Dengan tidak percaya ia masih ingin meyakinkan diri, jika apa yang ia lihat benar adanya.


"Welcome, Jenny Cortez ..." sapanya dengan membuka kedua tangannya.


Gadis berusia 20 tahun itu menunduk malu. Harusnya tidak ada drama sebelum interview berlangsung. 


"Tidak perlu takut. Aku bukan pria pendengki yang akan membalas dendamnya dengan menolakmu untuk bekerja di perusahaan milikku, hanya karena sebuah hal." Perkataan pria itu membuat Jenny berani mengangkat kepala dan melebarkan senyumnya.


Jenny melihat nama besar di meja kerjanya. 'Direktur utama Edward Antonio'. 


Sejak hari itu, Jenny Cortez mulai bekerja bersama Edward sebagai sekretaris-nya. Gadis itu nyaman bekerja bersama Edward.

Jauh dari pikiran jika bos besar itu selalu bertindak semena-mena terhadap bawahannya. Edward tidak tergolong pada pria semacam itu. Pria itu sangat baik.


Sering saat bersama, kedua mata mereka bertemu, dalam pikiran Jenny ada satu hal yang mengusik pikiran.


'Kenapa aku sepertinya familiar dengan kedua mata itu? Aku pernah melihat sebelumnya. Tapi dimana? Kenapa dadaku sakit saat aku melihat bola mata itu?'' Pertanyaan itu bergelut tidak menentu dalam pikiran.


Sesekali ia berusaha melupakannya, meski hatinya ingin sekali menguak siapa sebenarnya Edward ini, selain jabatannya sebagai direktur.


Kedekatan Jeny dengan direktur perusahaan membuat berita miring. Hingga salah satu pekerja hampir mencelakai Jenny tanpa sepengetahuan Ed. 


*****


"Lepaskan aku! Kalian siapa? Dan apa tujuan kalian menyekap-ku seperti ini? Hah!" tanya Jenny yang saat ini tengah duduk disebuah kursi kayu dengan tubuh terikat.


Sebuah pistol menelusuri wajah Jenny, berjalan pelan hingga berhenti di keningnya.


Dor!


"Ahh!" 


Gadis itu berteriak, dan sebuah bayangan buruk kembali muncul dipikiran Jenny.


Akan sebuah tembakan bertubi-tubi dikediaman orang tuanya. Dua timah panas berhasil merenggut nyawa mereka. Hingga membuat dirinya menjadi yatim piatu.


"Tidak! Jangan! Jangan bunuh mereka!" 


Teriakan Jenny membuat dua pria dengan penutup kepala itu tertawa menggelegar dalam ruang, seperti gedung. Ruangan pengap tanpa ventilasi. 


Gerakan kakinya membuat debu bertebaran dan membuat Jenny terbatuk-batuk.


"Kamu bicara apa? Haha!"


Semula kedua mata Jenny yang tertutup ia buka pelan, dia menyadari jika tembakan itu tidak mengenai tubuhnya. Karena tidak ada bagian dari tubuhnya yang terasa sakit.


Ia kembali melihat dua pria yang berdiri di hadapannya itu mengangkat pistol ke langit dan menembakkannya lagi. 


"Kami adalah orang suruhan. Kami diminta untuk membunuhmu sekarang juga. Jadi katakan padaku apa yang kamu inginkan di saat-saat terakhirmu ini?" 


"Siapa yang menyuruhmu?  Kesalahan apa yang aku perbuat hingga aku disekap, dan kalian menginginkan nyawa ku?" tanya Jenny.


Wanita itu telah di ajarkan pamannya untuk kuat. Air mata hanya akan menghancurkan diri. Tidak akan ada setetes air mata pun yang akan keluar dari bola matanya. Meski ia harus menerima berita sedih atau dalam keadaan sulit seperti yang ia hadapi sekarang.


Salah satu pria kembali menodongkan pistol di kening Jenny. "Kau sudah menghancurkan perasaan seseorang Jeny! Dan kematian adalah hukuman yang pantas buat kamu, dasar wanita penggoda!"


"Apa maksud ucapanmu? Aku sama sekali tidak memahami."


Dor!


Timah panas kembali dilesatkan ke atas langit-langit gedung.


"Kau sudah berani mencintai Edward! Dia adalah kekasih seseorang wanita. Kamu tidak tahu itu?"


Dor! Dor!


Terdengar suara tembakan bertubi-tubi dari luar gedung terbengkalai itu. 


Suara gebrakan terdengar dari pintu utama. Hati Jenny semakin tidak tenang.


Brak!


Akhirnya pintu besar dengan tinggi menjulang itu terbuka. Terlihat satu pria bersenjata berlari kearah mereka. Dengan sebuah topeng yang menutupi wajahnya.


Pergerakan pria yang baru saja datang sangat cepat, hingga kedua pistol yang mereka genggam terjatuh dan terlempar jauh saat kaki menendangnya.


Terjadi pertarungan, antara dua pria penyekap melawan satu pria itu. Tanpa banyak perkelahian terpaksa ia harus membunuh mereka, tembakan terpaksa di lesatkan dan berhasil mengenai salah satu kaki mereka, hingga mereka tidak dapat melarikan diri.


Dengan satu ancaman, jika mereka melawan. Pistol yang ia bawa akan melenyapkan nyawanya saati itu juga.


Gegas, pria itu melepaskan ikatan pada tubuh Jenny, ia memapahnya karena ikatan yang melukai kaki Jenny membuatnya tidak sanggup berjalan. Terpaksa pria itu menggendongnya.


"Siapa kamu?" tanya Jenny penasaran.


Pria itu lantas menunduk melihat wajah Jenny yang masih ketakutan. "Kamu tidak perlu tahu siapa aku."


Kembali ia berjalan keluar gedung dan akan berniat membawanya ke rumah sakit.


Tanpa di duga, Jenny menarik penutup kepala yang menghalangi wajahnya. 


Gadis itu terkejut, setelah tahu pria yang menolongnya adalah Edward. 


"Pak Edward?"


*****


"Nanti malam aku akan mengajak kamu makan malam, kamu bersedia? Pakailah gaun yang aku belikan kemarin!" titah Edward.


"Bagaimana dengan wanita yang menyukaimu? Aku takut dia akan melakukan tindakan lebih dari ini," ucap Jenny memandang dua mata Ed yang selalu membuatnya gelisah.


Ed meraih tangan Jenny, dan menciumnya dengan penuh kelembutan.


Perasaan Jenny kala itu amat bahagia. Meski usianya tergolong muda, gadis itu akan segera diperistri oleh seorang direktur pemilik saham terbesar di negaranya.


Malam itu Jenny berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Dengan menjewer baju sampingnya. Berputar-putar kesana kemari melihat betapa cantiknya dia  malam ini.

"Aku baru sadar jika diriku sangat cantik. Kenapa aku baru menyadarinya?" tanya Jenny heran. Masih enggan berpaling dari pantulan cermin dihadapan.


Paman Jenny, (Steve) pria berumur 65 tahun yang telah merawat Jenny selama ini berjalan pelan mendekati Jeny, duduk di sisi ranjang, menatap gadis itu--tiada sadar sudah dewasa, dan saatnya ia memiliki pendamping hidup.


Tanpa sadar, air mata pria lansia itu terjatuh. Jenny yang melihat Paman Steve dari pantulan cermin, segera memutar tubuhnya, berjalan mendekati paman dan duduk di sampingnya.


Jemari halus Jenny menggenggam tangan sang paman. 


"Coba ceritakan padaku, kenapa Paman sampai bersedih? Lihatlah bahkan Paman menitihkan air mata. Bukankah Paman sudah mendidik ku untuk tidak menjadi wanita yang lemah. Bahkan menangis pun paman melarangnya?" Jenny menyeka sisa air mata itu.


"Malam ini Paman melanggar ucapan paman sendiri. Katakan dengan jujur," suruh Jenny pada pria yang terlihat sesekali sedih.


Kali ini Steve merangkul tubuh Jenny erat. Ia meluapkan beban di dadanya. Ia menumpahkan semua saat ini.


" Jenny, aku sudah menjadi orang tua tunggalmu dari kau berusia 8 tahun. Dan sebentar lagi aku akan kehilangan gadisku selamanya. Kau akan di bawa pergi suamimu. Dan aku akan hidup sendiri." Ucapnya membuat Jenny makin bersedih.


"Kenapa Paman bicara seperti itu? Meskipun aku sudah menikah, aku tidak akan meninggalkan paman kok. Aku akan mengajak Paman tinggal bersamaku. Jika suamiku nanti tidak menyetujui, maka pernikahan tidak akan terjadi," jawab Jenny tegas. 


Ia membantu menyeka air mata Steve. Dan menghiburnya agar dapat tersenyum kembali. Perlahan ke dua sudut bibir pria itu terangkat.


Jenny memeluknya kembali. "I love you Paman Steve ..." bisiknya ditelinga Steve.


Mobil Edward telah sampai, dan gadis itu keluar dengan make up sederhana-nya.


Beberapa kali Edward bertemu dengan pamannya, dan pria itu sedikit tertutup. Bahkan beberapa kali ia mengatakan tidak setuju jika Jenny berhubungan dengan Edward. Namun karena permintaan gadisnya, akhirnya ia menyetujuinya.


Belum ada alasan tepat yang dapat mereka terima, namun seiring berjalannya waktu.


Mobil Edward melesat jauh. Meninggalkan Steve yang masih berdiri melihat mobil itu berlalu dan lenyap dari pandangan.


"Tunggu saja Ed! Malam ini tidak akan ada kebahagiaan untukmu!"


Disebuah restoran romantis yang khusus di sewa oleh Ed...


"Kamu terlalu berlebihan harus menyewa tempat seluas ini hanya untuk kita berdua," kata Jenny basa basi. 


Dalam hidupnya ia di didik Steve untuk selalu hidup hemat. Melihat semua ini, dia rasa Edward terlalu menghamburkan uangnya.


"Tidak ada yang lebih penting dari kamu, Jenny. Kamu adalah segalanya untukku," jawabnya dengan menarik pelan tangan Jenny lalu menciumnya.


Malam ini Jenny merasa sangat bahagia, seperti menjadi ratu saja, ternyata ada juga pria yang mencintainya dengan tulus. 


Edward mengeluarkan sebuah cincin, dari sebuah kotak perhiasan berwarna merah.


"Maukah kamu menjalani kehidupan bersama denganku sampai akhir hayat ini?" tanya Edward mantap.


Saking bahagianya sampai Jenny tidak mampu membuka mulutnya untuk mengeluarkan suara. Dia hanya bisa mengangguk dan mengangkat kedua sudut bibirnya.


Gegas Edwar memasangkan cincin cantik itu ke jari manis Jenny. 


Ia memberikan clue kepada seorang pria yang diperintahkan memutar sebuah video, yang ia rangkai bersama Jenny.


Kedua mata mereka terbelalak, terkejut saat gambar yang tersorot bukan memutar video tentang perjalanan cinta mereka.


Melainkan sebuah rekam film, yang diambil secara asal. 


Detak jantung Jenny serasa terhenti. Melihat pemandangan 12 tahun yang lalu, yang menyayat hatinya.


Kedua kalinya ia melihat penembakan pada kedua orang tuannya. Saat pria itu keluar dari kediaman Clark, ia melepas penutup kepala. 


Dan terlihat jelas bahwa pelakunya adalah Edward. Pria yang saat ini melamarnya.


"Film apa ini?" tanya Edward terkejut, diluar rencananya. 


Jenny berdiri dan menampar wajah Edward keras.

"Plak!!"

"Pria kejam! Pembunuh! Aku masih ingat bola mata itu! Ternyata memang kamu pembunuh orangtuaku Edward!" 


Plok! Plok! Plok!


Terdengar suara tepuk tangan berasal dari kejauhan. Kedua mencari sumber suara.


"Paman Steve?" sapa Jenny tidak percaya.


Pria itu melemparkan pistol pada Jenny dan ia berhasil menangkapnya.


Ia menodongkan di tempat yang sama. Di kening Edward. 


"Seperti inilah, cara kamu membunuh Papa dan Mamaku!"


"Maafkan aku Jeny, aku terpaksa melakukannya. Karena perintah orang tuaku, aku terpaksa membalaskan dendam mereka pada Clark dan Pearl. Namun cintaku padamu tulus!" 

"Ingat akan sumpah gadis kecil dua belas tahun lalu, bukan? Aku akan membalas dendam atas kematian mereka dengan tanganku sendiri!!" Ucapan Jenny sangat tegas. Sampai bulir air mata membasahi pipinya.

Jenny menutup dua mata, terdengar Es berkata. "Baik, lakukanlah sekarang, dendammu akn terbalaskan saat ini juga!!"

Terdengar suara itu seakan bergetar hebat, memukul dirinya.

Dor!


Edward-pun mati ditangan Jeny…

Jenny membuka mata ... Berteriak keras nama Edward berulang kali, hingga membuat teriris yang mendengarnya.













  

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)