Cerpen
Disukai
2
Dilihat
6,562
Cerita Pinggiran: #1 Obrolan Tetangga
Drama

Prolog

Jakarta….

Kota yang selalu menjadi kota kejam yang tetap menjadi incaran semua kalangan dari daerah manapun di Indonesia. Tempat untuk merantau dan mengadu nasib, meskipun kesempatan berhasil untuk sukses tidak begitu besar.

Dibalik hingar bingar Jakarta yang identik dengan kota yang (hampir) tidak pernah tidur, tersimpan kisah yang berada di pinggiran kota. Ya…perkampungan dalam kota. Disanalah, banyak pemimpi baik itu warga asli maupun pendatang yang masih berjuang menghadapi kerasnya Jakarta, dan masih berusaha untuk bisa membuktikan kalau mereka bisa menaklukkan kota kejam ini. Perjuangan mereka tidak hanya bekerja keras, namun berjuang menghadapi rintangan di sekitar mereka, supaya bisa tetap survive dalam keadaan tertentu. Mereka yang hidup di pinggiran, terus mengejar mimpi tanpa lelah. Bahkan, sampai rela melakukan apa saja demi mewujudkan mimpi mereka, yang tidak tahu kapan akan terwujud.

Keberuntungan bisa datang dengan cara apapun untuk penduduk yang tinggal di perkampungan ini, bahkan caranya tidak terduga. Ada juga yang sudah lama tinggal di perkampungan ini, namun baginya tidak cukup untuk membuat gunjingan dan hasutan. Lalu, ada yang berusaha menghidupi keluarga kecilnya dengan segala cara untuk bisa bertahan hidup. Ada yang awalnya hidup berkecukupan, namun mencoba bangkit lagi dengan usaha yang dirintisnya di perkampungan ini walaupun terpaksa. Dan masih banyak lagi cerita lainnya di kehidupan perkampungan ini.

Mungkin, ada kalanya kita membaca cerita dibalik pinggiran Jakarta, walaupun kita semua ingin mendambakan kehidupan layak seperti cerita kebanyakan orang tentang Jakarta yang disebut: Kota Sejuta Mimpi.

Namun, tetap saja Jakarta selalu dibilang sebagai:

‘Kota Kejam Kesayangan.’

Cerita pertama dimulai dari seorang ibu muda dengan anak perempuannya. Mereka baru pindah, namun justru mendapat gunjingan dari warga di sekitarnya karena menjadi ibu tunggal. Padahal, mereka tidak tahu, gunjingan itu bisa menjadi masalah besar yang akan diterima salah satu warga yang mengkonfrontasi sang ibu tunggal ini.

Jadi berhati-hatilah dalam berucap, apalagi berucap dengan asumsi semata.

_______

“Bunda, kok kita tinggal di rumah kayak gini sih?”

Seorang gadis kecil berusia sekitar 7 tahun itu menanyakan kepada ibunya, kenapa mereka harus pindah ke kontrakan kecil 2 petak. Sang anak pun terlihat bermuka masam, karena ekspresinya menandai kalau dia tidak suka dengan tempat tinggal barunya.

Sang ibu yang masih muda dan juga single mother, berusaha untuk memberi jawaban yang logis, meskipun raut wajahnya ada yang ditutupi supaya anaknya tidak kecewa. Kemudian, sang ibu pun menunduk dan tersenyum kepada anaknya sambil membelai rambutnya.

"Kiara, sementara kita tinggal di sini dulu ya." katanya menenangkan namun raut wajahnya Kiara sedikit manyun tanda dia tidak terlalu suka.

“Kalau bunda sudah punya cukup uang, Insha Allah, kita akan pindah ke tempat lebih baik ya.”

"Kiara lebih suka rumah yang dulu, besar dan luas, ada kolam renangnya lagi." kata Kiara sedikit sedih.

Sang ibu pun menyuruh sabar sambil memeluk Kiara dengan penuh kasih sayang. Lalu, sang ibu mengajak Kiara untuk masuk ke tempat tinggal barunya.

Wanita muda itu bernama Karina. Seorang wanita muslimah yang berkerudung. Karina memutuskan untuk pindah dari rumahnya karena baru saja bercerai dengan mantan suaminya. Karina mengalami trauma berat yang memaksanya langsung kabur dari rumah suaminya setelah bercerai. Awalnya, dia tidak tahu mau kemana. Lalu, sambil mengungsi sementara di losmen murah, dia mendapatkan kontrakan murah di pinggiran Selatan Jakarta. Dengan bekal pintar memasak, dan punya bisnis kecil-kecilan yang dia rintis sebelum bercerai, dia optimis untuk bisa menghidupi dia dan anaknya, sambil menabung lagi untuk bisa tinggal di hunian yang lebih layak.

Dengan mengucapkan 'Bismillah', Karina membuka pintu kontrakan itu dan masuk bersama Kiara.

"Bunda, kita harus beresin lagi ya?" tanya Kiara yang pasrah.

Karina menatap ke arah Kiara, sambil mengangguk. Kiara hanya menghela nafas, akhirnya membantu Karina untuk bersih-bersih di kontrakan barunya itu. Karina mulai mengambil sapu yang tergeletak di rumah kontrakan itu. Mungkin sapu itu sengaja ditinggal oleh pemilik kontrakan yang dia sewa.

“Permisi Bu Karina…”

Tiba-tiba ada suara yang lembut dan juga santun, di depan pintu rumah kontrakan Karina. Dengan wajah yang sedikit bingung, tapi Karina bergegas ke arah pintu rumahnya.

“Iya ibu?” sapa Karina dengan ramah. Dia melihat ibu-ibu sekitar umur 40 tahunan, bersama dengan lelaki yang berusia sekitar 50 tahunan di sebelahnya, yang dia kenal sebelumnya dengan sebutan Pak RT, karena sebelum pindah Karina ditemani pak RT untuk lapor.

“Bu Karina, salam kenal, saya Badriah, istrinya pak RT. Maaf ya Bu, baru ketemu sekarang, kemarin pas Bu Karina datang, saya lagi di luar.” sapa Bu Badriah dengan wajah sumringah.

Karina menyambut hangat Bu Badriah dan bersalaman. Pak RT juga bersalaman kembali dengan Karina.

“Bu Karina, kalau nanti ada kendala masalah keamanan, langsung lapor pak RT saja ya. Nggak usah sungkan.” kata Bu Badriah.

“Masalah iuran warga, semuanya sudah beres ya Bu Karina, karena Bu Karina sudah bayar untuk setahun.” tambah pak RT dengan wajah ramah.

Karina mengangguk lalu mengucapkan terima kasih, kemudian Karina menyuruh mereka untuk masuk rumah meskipun masih sedikit berantakan. Bu Badriah dan pak RT langsung pamit, karena mereka bilang ada urusan lain. Karina pun juga mengangguk lalu mereka berpamitan, lalu Karina masuk ke dalam rumah.

Beberapa rumah di depan Karina, ternyata ada tetangganya yang mengintip dari balik pagar rumahnya. Dia penasaran siapa penghuni kontrakan itu. Lalu orang itu dikagetkan dengan suara di depannya.

“MPOK!”

“AYAM….EH….AYAM!” tetangga Karina yang mengintip itu kaget. “Lu ngapain sih ah, resek deh ngagetin gue aja!”

“Lagian Mpok Leha ngapain sih kepoin tetangga baru?” kata orang yang mengagetkan Leha yang ternyata tetangga depan rumahnya persis.

“Dih…siapa yang kepo? Ya masa orang pindahan gue kepoin. Gue cuma penasaran aja siapa dia.” kata Leha agak tersinggung.

“Ihhh tetep kepo sih itu. Eh tapi Mpok, itu dia sendirian gitu tinggalnya?” tanya tetangga Leha penasaran.

“Kagak Zubaedah, gue lihat sih tadi dia sama anaknya cewek. Tapi tauk dah beneran anaknya atau kagak.” kata Leha sambil jemurin baju.

“Terus suaminya kemana kalau itu beneran anaknya?” tanya Zubaedah penasaran.

Leha kemudian menyemprotkan perasan air jemuran ke wajah Zubaedah.

“Tadi siapa yang bilang kepo? Lu sendiri udah kayak wartawan gosip barusan. Bego lu!”

Zubaedah tertawa nyengir ke Leha, lalu meninggalkan Leha sambil pamitan dengan centil. Leha kemudian melanjutkan menjemur. Tanpa sadar, Karina menjadi sorotan warga. Walaupun masih sebatas tetangga depan saja. Hal itu selalu terjadi di wilayah pinggiran dekat area perkantoran elit Jakarta, tempat dimana Karina tinggal sekarang. Karina sadar, lingkungan baru yang ditempati sekarang harus bisa beradaptasi dengan apapun yang akan dihadapi olehnya dan anak satu-satunya.

Keesokan harinya, Karina beraktifitas seperti biasa. Menyiapkan sarapan untuk anaknya dan bersiap untuk mengantar anaknya, Kiara, ke sekolah. Karina menyuruh Kiara untuk menghabiskan sarapannya sambil Karina menyiapkan bekal makan siang untuk Kiara. Karina memesan ojek online untuk antar jemput Kiara, lalu Kiara berpamitan kepada Karina.

Sejak kedatangan Karina, semua warga di kampung itu sering menunjukan rasa ingin tahu tentang siapa sebenarnya Karina. Kenapa dia tinggi di rumah kontrakan yang biasa saja sedangkan gaya berbusananya cukup modis? Kenapa dia punya anak dan tidak ada suami, apakah benar itu anak kandungnya atau bukan?

Pagi itu, Karina belanja ke pasar kecil dekat lingkungan tempat dia tinggal, dengan jalan kaki yang jaraknya tidak sampai 5 menit. Dalam perjalanannya, semua mata yang menuju ke pasar tertuju pada Karina. Dengan sorot mata yang terkagum namun penuh curiga. Karina sadar dia menjadi objek yang membuat penasaran baik itu laki-laki atau perempuan yang ada di lingkungan itu. Mungkin ada yang kagum dengan paras cantiknya atau bisa menjadi bahan gosip terbaru yang akan menyebar ke penjuru kampung sekitar sana.

Sampai di pasar, Karina melihat-lihat kios bahan makanan di kanan kirinya. Lalu, pandangannya tertuju pada satu kios yang ramai. Pikirnya, ahh mungkin di sana harganya lebih murah, lalu Karina berjalan cepat ke kios itu. Sudah mulai dekat, Karina memberhentikan langkahnya sejenak. Dia tanpa sengaja mendengar Leha yang sedang berbelanja di kios itu bersama tetangga lainnya bergosip tentang dirinya. Mereka bergosip sudah seperti yang paling tahu tentang Karina. Berkata yang buruk, seperti:

‘Janda yang ditinggal suami karena kawin lagi.’

‘Anaknya yang bukan anak kandung suaminya.’

‘Perempuan yang bersembunyi keburukannya dibalik kerudung.’

Sungguh kata-kata yang terucap dari Leha dan geng ibu-ibu kampung itu membuatnya marah dan emosi. Karina ingin langsung konfrontasi supaya mereka lebih malu daripada Karina. Tapi, Karina sadar, dia warga baru di kampung ini. Karina tidak ingin citranya menjadi tambah buruk. Karina sadar, dia harus menghadapinya dengan sangat elegan. Perlahan dia Karina menghampiri kios dengan sekelompok ibu-ibu bergosip tentang dirinya.

“Ehem….” Karina batuk kecil.

Leha dan gengnya menoleh pelan. Ekspresi wajah mereka langsung kaget karena Karina di belakang mereka persis. Karina memasang muka masam lalu pelan-pelan tersenyum. “Seru amat ibu-ibu gosipnya, nggak sadar kan ada saya? Oh iya, perkenalkan, saya Karina. Warga baru di kampung ini.”

Leha tersenyum malu, dan tetangga lainnya pun juga mencolek satu sama lain dan berguman kecil. Bahkan penjual di kios itu pun justru tersenyum kecil serasa bilang ‘rasain deh ibu-ibu ini’. Leha ingin berkata sesuatu namun mulutnya hanya bisa terkunci sambil khawatir terhadap dirinya.

“Permisi ibu-ibu, saya mau belanja. Boleh minggir dulu?” Kata Karina dengan wajah sinis.

Sekelompok ibu-ibu dan Leha pun minggir, lalu wajah Leha tiba-tiba berubah menjadi sinis dan benci melihat Karina. Karina dengan elegan berjalan menuju penjual kios bahan makanan itu dan memberikan catatan yang harus dibeli. Penjual itu kaget karena banyak sekali daftar belanjaannya.

“Ibu ini banyak banget? Kuat bawanya?” kata penjual itu. Karina menggeleng dan bertanya bisa diantar ke rumah tidak, dan penjual itu mengiyakan. Karina juga bilang kalau bahan makanan ini untuk bisnis kateringnya yang dia antar setiap malam. Baru kali pertama Karina datang ke kios itu, langsung disambut ramah. Bahkan Karina memberikan uang tips ke penjualnya.

Karina lalu berbalik arah dan menuju pulang. Tapi sebelumnya Karina berkata ke gengnya Leha untuk berhati-hati dalam berucap. Namun, Karina bilang rumahnya selalu terbuka untuk siapapun yang silaturahmi, lalu Karina pun berjalan pulang. Perasaan Karina pun lega, tidak ada lagi rasa marah dan emosi di hatinya. Baginya, tidak baik memendam perasaan benci, lebih baik diungkapkan secara elegan tanpa harus marah. Karina tidak peduli apakah setelah ini Leha berkata jelek tentangnya ataupun menyebar kebencian ke orang lain tentang dirinya. Buat Karina, kebahagiaannya dan anaknya adalah yang utama.

_____

Setelah beberapa hari, suasana di kampung tempat Karina tinggal tampak damai. Karina sudah mulai membaur ke banyak warga termasuk sudah mulai dekat dengan keluarga pak RT. Bahkan Karina juga jadi langganan salah satu minimarket terkenal di sana, dan salah satu karyawan di minimarket itu bernama Lilis sudah akrab dan selalu tahu apa yang Karina selalu beli.

Ada satu yang mencuri perhatian Karina, ada satu warung kelontong kecil dengan penjaga wanita muda bernama Tilda. Tilda selalu melihat ke arah apartemen di belakang komplek. Melihat ke atas, seolah-olah dia sangat familiar dengan tempat itu. Karina dengan rasa penasarannya, sekali ke toko itu dan bertanya ke Tilda. Mengapa dia selalu melihat ke apartemen itu ketika tidak ada pelanggan. Tilda hanya tersenyum dan menjawab, hanya ingin tahu, apakah penghuni di apartemen itu hatinya tenang atau punya masalah berat tapi dikuat-kuatkan.

Karina merasa itu random. Mungkin memang pemikiran Tilda tidak sama dengan pemikiran orang lain yang masa bodoh atau bergosip yang ujungnya fitnah seperti Leha dan gengnya. Tapi Karina berusaha melihat sisi positif dari Tilda. Karina lalu membeli sabun mandi dan pamit ke Tilda lalu mengucapkan terima kasih. Tilda tiba-tiba berpesan ke Karina, supaya Karina tidak terpengaruh obrolan orang lain. Karina hanya mengiyakan dan tersenyum lalu pergi.

Satu hari di malam hari, Karina keluar dari rumahnya membawa satu dus berukuran sedang berisi paket makanan yang dimasaknya. Karena memang Karina usaha katering, lalu Karina sedang menunggu di depan rumahnya. Tanpa disadari, ada Leha yang mengawasinya. Leha bingung kenapa Karina pergi di malam hari untuk antar pesanan. Leha dengan rasa ingin bergosip lalu menuju rumah Zubaedah.

“Zubaedah!!!” teriak Leha tapi tidak terlalu kencang dari balik pagar rumah Zubaedah. Tidak lama Zubaedah keluar dari rumahnya.

“Nape dah lu, Mpok? Malem-malem ke rumah gue?” tanya Zubaedah bingung.

“Lu ikut gue sekarang ke rumah Karina!” Leha langsung menyeret Zubaedah yang hanya memakai daster.

Zubaedah yang bingung pasrah dan mengikuti Leha sampai lupa dia pakai daster saja.

Leha dan Zubaedah bersembunyi di tiang di dekat rumah kontrakan Karina. Zubaedah bertanya ini ngapain bersembunyi seperti ini. Leha menyuruh diam dan menyuruhnya untuk menunggu. Setelah kurang lebih 20 menit, mereka melihat mobil yang berhenti ke rumah kontrakan Karina. Karina yang menunggu di depan rumahnya, tampak berpakaian rapi sambil membawa tempat makan sekitar 20 pax untuk katering. Zubaedah berbisik ke Leha, itu kenapa Karina mengantar catering malam-malam. Leha menyuruh diam karena dia sendiri tidak tahu. Tiba-tiba ada pria paruh baya sekitar Umur 50 tahunan yang berbadan tegap atletis berbaju setelan safari, keluar dari Mobil dan memegang pundak kanan Karina. Karina terlihat tersenyum, dan pria itu lalu mengambil katering Karina dan memasukkan ke Mobil. Lalu Karina masuk ke mobil, lalu Mobil itu pergi.

“Mpok…itu kayaknya modus dah. Nggak bener kayaknya si Karina itu. Masa iya nganter katering malem-malem gini? Mana sama laki lagi kan.” Zubaedah berbisik ke Leha dengan tatapan penasaran.

Leha tersenyum sinis tampak ingin membalas kelakuannya ke Leha waktu di pasar beberapa hari yang lalu.

“Memang nggak bener. Lu, kumpulin geng kita. Atur waktu buat ghibahin dia.” kata Leha mulai agak menghasut. Leha dan Zubaedah akhirnya pergi dari situ.

_____

Suasana pasar di pagi hari berikutnya tampak ramai tidak seperti biasanya. Setiap hari memang ramai, tapi hari ini ramai ya sampai membludak. Karina memperhatikan semua pedagang di pasar dan semuanya tampak sibuk melayani pembeli yang berebutan. Karina menuju pedagang langganannya, tapi pandangannya mulai memperhatikan sekelilingnya yang ibu-ibu melihat dirinya sambil berbisik-bisik satu sama lain. Karina mulai curiga, apakah mereka ini bergunjing terhadapnya. Namun, pikirannya dilawan, dia berpikir baik-baik saja.

Sesampainya di pedagang langganannya, Karina mengucapkan Salam namun disambut sinis sama pedagang itu. Tampak ibu-ibu yang berbelanja di sana pun juga melihat Karina dari atas sampai bawah. Lalu dia mendengar satu bisikan ‘baju aja kayak ukhti’. Karina sempat melirik pelan-pelan ke belakang dengan rasa penasaran namun sedikit takut. Lalu pedagang itu sedikit membentak Karina.

“Bu, ini terakhir ya belanja di saya. Saya nggak mau terima uang haram.” kata pedagang itu dengan ketus.

“Maksud ibu apa ya?” Karina mulai bingung dan menahan emosinya.

“Nggak usah sok nggak tahu, udah pada tahu semuanya sekampung sini.” pedagang itu lalu menunjuk pesanan Karina dan menyuruhnya pergi secepat mungkin.

Sambil membawa belanjaannya, Karina melihat semua ibu-ibu berbisik-bisik. Karina merasa dia adalah monster hina yang tidak seharusnya berada di lingkungan mereka. Karina bingung kenapa dia digosipkan yang tidak baik. Bahkan tidak hanya ibu-ibu, bapak-bapak di kampung itu juga saling berbisik bergunjing tentang Karina dengan melihat Karina dengan tatapan jijik.

Sesampainya di rumah, Karina tidak bisa menahan tangisnya. Dia menangis tersedu-sedu dan bertanya ada apa dengan orang-orang di sekitarnya. Kenapa orang yang digosipkan harus Karina, Salah apa Karina dengan warga kampung ini? Di tengah tangisannya, Kiara membuka pintu rumah baru dari sekolah. Dan melihat Karina menangis membuatnya sedikit bingung dan menghampirinya.

“Bunda, kok nangis?’ tanya Kiara sambil memegang tangan Karina.

“Eh…Kiara, sudah pulang? Bunda nggak apa-apa kok cuma agak capek aja.” kata Karina dengan sedikit tersenyum.

“Bunda diomongin jelek ya sama tetangga?” Kata Kiara menebak.

Karina terkejut kenapa Kiara bisa tahu. Lalu Karina bertanya kepada Kiara, siapa yang bilang begitu kepadanya.

“Kiara sebenarnya tadi sedih di sekolah, bunda. Kiara tiba-tiba dijauhin sama teman-teman Kiara. Kiara bingung Salah Kiara apa. Kiara padahal nggak bikin aneh-aneh di sekolah. Kiara selalu dengerin apa kata bunda, kalau Kiara nggak boleh nakal, nggak boleh bandel, harus baik sama semua guru dan teman-teman. Waktu Kiara datang ke kelas, tiba-tiba Kiara disuruh duduk di paling belakang. Padahal Kiara selalu di depan dan teman-teman sekelas Kiara bilang nggak usah dekat-dekat lagi.”

Kiara tidak bisa lagi menahan tangisnya, lalu dia lalu dia menangis tersedu-sedu. Baru kali ini, Kiara menangis begitu hebatnya dan tidak ada lagi yang bisa menahan air matanya. Karina merasa kasihan terhadap Kiara. Pada akhirnya, Karina tidak bisa menahan tangis seperti yang dirasakan oleh Kiara. Lalu Karina memeluk Kiara dengan penuh kasih sayang sambil terus menangis. Karina akhirnya meminta maaf kepada Kiara, karena Kiara mengalami pengalaman yang bisa jadi membuat dia trauma seumur hidup. Kiara masih terus menangis tersedu-sedu, dan sepertinya air matanya tidak akan berhenti sampai waktu yang lama. Karina mulai menenangkan diri untuk tidak terus menangis, karena justru kalau Karina ikut menangis terus, Kiara tidak akan bisa lebih tenang. Karina kemudian menenangkan Kiara, supaya Kiara bisa lebih gampang mengungkapkan semuanya. Ketika sudah tenang, Karina minta untuk Kiara menceritakan semuanya tentang apa yang dialami di sekolahnya.

Kiara mulai cerita pelan-pelan, apa yang dialami Kiara membuat Karina terpukul. Kiara disebut sebagai ‘anak haram’, karena lahir tanpa bapak. Kiara disebut ‘anak perempuan malam’, bahkan parahnya Kiara disebut ‘anak lonte’ yang bahkan Kiara tidak tahu apa artinya. Kiara juga bilang itu semua adalah hasutan orang tua teman-temannya yang tinggal di lingkungan yang sama. Karina pun heran, bagaimana bisa anak kecil sebaya dengan Kiara mengerti apa arti ‘lonte’? Apakah itu hanya hasutan saja? Kalaupun benar sungguh biadab orang tua yang mengajarkan berbicara seperti itu ke anaknya.

Karina tidak mau menunjukkan wajah marah kepada Kiara, karena itu bisa mempengaruhi psikis Kiara. Biarlah rasa marah itu dia rasakan sendiri dendam seorang ibu biarlah dirasakannya sendiri. Karina lalu tersenyum kepada Kiara, dan bilang ke Kiara kalau semuanya akan baik-baik saja. Karina meyakinkan Kiara kalau kebenaran itu akan selalu menang. Dan Karina berjanji kalau Karina akan membereskan semuanya, tidak ada lagi fitnah. Kiara memeluk Karina dan bilang “Kiara sayang sama bunda.”

_____

Beberapa hari kemudian, Karina melakukan aktivitas seperti biasa sebagai ibu rumah tangga sambil mempersiapkan catering yang setiap malam dia antar. Kiara sudah pergi ke sekolah diantar ojek online yang setiap pagi Karina pesankan. Karina sudah tidak berpikir yang aneh-aneh lagi, dia tidak mau larut dengan pikiran warga yang menggunjingnya. Karina hanya akan fokus sama kehidupannya saja. Prinsip Karina hanya membahagiakan dirinya sendiri dan Kiara.

Ketika dia sedang mempersiapkan masakannya, tiba-tiba ada suara pria yang logatnya seperti orang Timur. Dengan wajah yang bingung, Karina bergegas keluar. Benar, itu pria dari Timur, entah dari Papua atau Ambon. 

“Ada urusan apa ya, pak?” tanya Karina dengan ekspresi bingung namun penasaran.

“Kaka, saya mau bertanya, karena saya sedang mencari orang di daerah sini.” kata pria itu yang ternyata sedikit ramah.

Karina memperhatikan foto dan formulir seperti perjanjian pinjam meminjam uang. Dan kaget sekali ternyata orang yang dicari adalah Leha. 

“Bagaimana kaka, kenal dengan orang ini?” tanya pria itu kembali.

Pikiran Karina mulai bercabang, dia ingin bersikap baik kepada Leha tapi dia sudah bergunjing kepada semua warga yang memfitnah Karina dicap bukan wanita baik-baik. Di pikiran lainnya, Karina ingin membalas dendam supaya Leha dipermalukan seluruh kampung. Pada akhirnya, Karina mengambil sebuah keputusan.

“Maaf pak….” kata Karina ke pria itu. Pria dari Timur itu pelan-pelan mendekati Karina.

_____

“WOYYY CEWEK LONTE!!! KELUAR LU!!!”

Terdengar suara wanita berteriak ditambah dengan riuhan warga lain di depan rumah kontrakan Karina. Karina yang sedang mempersiapkan makanan catering untuk diantar kaget dan mengintip keluar. Sebelumnya Karina mengintip keadaan Kiara, apakah dia terbangun atau tidak, karena Karina memasangkan ear plug di telinga Kiara supaya tidur dia lelap. Aman. Karina bergegas keluar dengan memakai kerudung seadanya. Karina kaget karena semua warga di kampung tempat dia tinggal berkumpul di rumahnya dan sambil membawa peralatan rumah tangga sebagai senjata. Wajah mereka marah, dan terlihat pak RT dan ibu RT juga yang tadinya sangat ramah memasang wajah benci.

“Ada apa ini? Kenapa bikin ribut? Di rumah saya?” kata Karina dengan wajah yang juga marah.

“HEH!” teriak Leha sambil menunjuk tangannya ke Karina. “Nggak usah sok suci lu! Baju aja syariah, kelakuan ternyata lonte!” 

Warga pun berteriak setuju dengan perkataan Leha.

Astagfirullah, bukti apa kamu menuduh saya seperti itu? Mau kamu pertanggung jawabkan?” Karina marah berteriak kepada Leha.

“HALAAAHHH!!! Lu pikir gue nggak tahu kalau lu dijemput gadun tiap malem? Nganter katering? Katering apa malem-malem? Modus lu bilang aja lonte buat gadun!” Kata Leha berteriak. “Udah usir aja dia dari kampung ini!”

Semua warga berteriak setuju dengan perkataan Leha dan riuh warga membuat Karina hampir kewalahan untuk bersuara membela dirinya sendiri. Lalu riuh kemarahan warga itu tiba-tiba dihentikan oleh Pak RT yang wajahnya menunjukkan ekspresi marah. Tapi, Karina merasakan kalau wajah marahnya itu bukan kepada Karina.

“Bapak-bapak, ibu-ibu, sudah…SUDAH!!!” teriak Pak RT menghadap ke semua warga. “Apa benar kalian semua ada buktinya kalau Karina bukan wanita baik-baik?”

Semua warga pun tiba-tiba sedikit terdiam, lalu Leha yang tidak terima langsung memotong pembicaraan Pak RT.

“Eh Pak RT, ngapain belain lonte itu? Saya lihat sendiri pak, noh Zubaedah juga lihat. Dia dijemput gadun pakai mobil. Itu catering pasti buat gadun-gadun yang ngegilir dia kan. Udah lu ngaku aja dasar LONTE!” teriak Leha marah.

“Benar Zubaedah? Kamu lihat sendiri?” tanya Pak RT ke Zubaedah yang ada di sebelah Leha.

Zubaedah menunjukkan wajah yang takut dan bingung. Dia melihat ke Karina, dan melihat ke Leha. Lalu Zubaedah hanya menunduk. Leha yang melihat Zubaedah yang hanya tertunduk, semakin murka dan memarahi Pak RT. Leha justru menuduh Pak RT menjadikan Karina simpanannya karena terbuai dengan kecantikan Karina. Pak RT yang marah hampir menampar Leha. Bu RT yang ada di sana pun membela Pak RT karena dia tahu semua kegiatan Pak RT yang selalu banyak menghabiskan waktu di rumah karena juga sudah pensiun. 

Di tengah riuh kemarahan warga dan sudah semakin kacau, Karina yang akhirnya tertunduk lemas dan hanya bisa duduk di lantai, meratapi dirinya sendiri bagaimana nasibnya kalau dia diusir atas tuduhan yang tidak benar? Bagaimana nasib Kiara nantinya? Sekarang yang Karina pikirkan hanya itu di kepalanya. Lalu, tiba-tiba ada seorang pria dengan badan atletis tegap berusia 50 tahunan memakai setelan safari berwarna coklat muda. Dia bingung kenapa ada keramaian di rumah Karina. Lalu Karina mengenali pria itu dan berteriak dengan sebutan ‘bapak’.

Keriuhan itu pelan-pelan memudar, semua warga melihat pria itu dengan penuh keheranan bahkan bingung siapa pria ini? 

“Maaf, ini ada apa ya?” tanya pria itu ke warga.

Zubaedah yang melihat pria itu tiba-tiba menyembunyikan wajahnya dengan menunduk, tampaknya Zubaedah ketakutan sekali melihat pria itu. Sepertinya Zubaedah menyembunyikan sesuatu dan tidak ingin semua orang tahu apa yang dirahasiakan Zubaedah. Leha yang melihat pria itu teringat dengan suatu kejadian, lalu Leha mulai berteriak.

“NAHHH…ini nih gadunnya Karina! Gue lihat sendiri sama Leha, dia jemput Karina. Ngaku deh Lu, Karina itu lonte lu kan?!” teriak Leha yang semakin marah.

Pria itu dari yang ramah menjadi ketus.

“Jaga bicara Anda. Saya kesini hanya ingin mengantar katering lemburan di suatu kantor dekat sini.” pria itu bersuara tegas dan berat.

“Semuanya, perkenalkan. Nama saya Asep. Saya supir lepasan, dan direkrut bu Karina untuk mengantar katering yang diperuntukkan karyawan lembur. Bu Karina ini spesialis katering malam. Saya juga bingung ini kenapa jadi bahas bu Karina ini seorang lonte?” pandangannya berubah galak ke arah Leha.

Pak RT wajahnya sedikit lega, namun dia tetap menanyakan apa benar yang diceritakan Asep. Asep lalu menunjukkan bukti-bukti seperti nota pesanan katering dan invoice perusahaan bukti pembayaran untuk pesanan katering. Bahkan Asep mengajak Pak RT untuk melihat langsung pekerjaan Karina yang sebenarnya. Asep bergegas ke Karina, menenangkan karena Asep melihat Karina sudah tidak bisa apa-apa. Asep merangkul Karina menenangkan Karina untuk tarik nafas dan buang nafas perlahan supaya lebih tenang.

“BOHONG LU! BOHONG SEMUA! LONTE MANA MAU NGAKU!” teriak Leha histeris karena malu.

“Mpok, sudah mpok. Tuduhan kita semua ternyata nggak bener kan? Minta maaf aja mpok.” kata Zubaedah yang akhirnya bersuara dengan wajah yang masih takut.

“EH! Zubaedah! Ngapain lu belain lonte ini? Nggak inget lu kita udah dipermaluin di pasar gara-gara ngomongin dia?” Leha mulai memuncak emosinya.

“Kita juga salah mpok, ngomongin dia nggak ada bukti. Malu kan sekarang kita jadi gunjingan sekampung!” kata Zubaedah yang menahan emosi.

Leha yang semakin emosi berteriak ke Zubaedah namun, emosi itu berubah menjadi rasa malu yang seumur hidup dia rasakan.

“AKHIRNYA KETEMU!” tiba-tiba ada suara pria berlogat Timur.

Semua warga spontan melihat ke arah suara pria yang berlogat Timur. Pria itu adalah debt collector yang mendatangi Karina tempo hari yang menanyakan dimana rumah Leha. Pria dari Timur itu mendatangi Leha dengan wajah marah.

“Kaka Leha, saya sudah sabar menghadapi kaka Leha. Kaka Leha punya hutang 200 juta sudah menunggak dari setahun yang lalu.” pria dari Timur itu menunjukkan bukti ke semua warga yang langsung kaget.

“Saya tidak tahu, kaka Leha ini hutang bisa, tapi balikin susah sekali. Tanggung sendiri sekarang sudah menunggak sampai 200 juta. Saya tidak mau tahu kaka, bayar sekarang atau kami akan urus secara hukum.” kata pria dari Timur itu.

Wajah Leha yang tadinya menggebu-gebu emosi karena ingin Karina diusir dengan tuduhan yang tidak benar, akhirnya berubah menjadi sosok yang penakut dan menjadi malu dengan tatapan dingin semua warga yang gantian ingin menghasut Leha.

“Buat semua yang mau tahu, uangnya dibuat judi dan kalah terus, uang saya juga dipakai buat judi!” terdengar suara perempuan dari jauh.

Karina mengenali suara itu, lalu dia berdiri dibantu oleh Asep dan ternyata suara itu adalah Lilis, karyawan minimarket yang sering dia kunjungi. Karina heran apa hubungannya Lilis dengan Leha? 

“Laporin aja mas ibu saya. Saya juga mau pergi dari kampung ini, nggak ada urusan lagi sama ibu saya. Emak nggak usah cari Lilis lagi. Enek Lilis sama kelakuan emak!” 

Lilis yang membawa koper lalu pergi dengan gerakan cepat. Leha yang histeris melihat Lilis pergi ditahan sama pria dari Timur itu. Lalu warga berteriak ke Leha dan mempermalukan Leha. Terlihat warga berteriak:

‘MISKIN KOK NGUTANG!’

’TERIAK LONTE TAPI NGUTANG!’

’RASAIN DITINGGALIN ANAKNYA!’

’MAMPUS MASUK PENJARA, RASAIN!’.

Perlahan warga dibubarkan oleh pak RT, lalu bu RT menghampiri Karina untuk meminta maaf atas kejadian yang tidak menyenangkan ini. Zubaedah yang berjalan meninggalkan rumah Karina, menoleh ke belakang ke arah Karina dengan ekspresi yang masih takut. Karina yang masih ditenangkan pak Asep, dari ekspresi tercengang dan sedih, tiba-tiba berubah drastis secara perlahan menjadi menyeringai jahat ke Zubaedah. Dan Pak Asep pun mengangguk dengan senyum kecil. Zubaedah mengucapkan terima kasih dengan suara yang sangat kecil kepada Karina. Terlihat wajah Zubaedah yang takut perlahan membentuk senyum kecil.

 

EPILOG

 

Malam itu, langit terlihat cerah dengan munculnya bulan sabit yang bersinar terang. Namun, angin pada malam itu sedikit kencang dan bunyi gluduk di langit terdengar samar-samar. Tidak ada tanda-tanda akan turun hujan, fenomena itu memang sering terjadi, semua warga di perkampungan ini sudah tidak heran.

Di tengah suasana itu, sebuah mobil berhenti di depan rumah kontrakan Karina. Di waktu yang sama, Zubaedah sedang berjalan terburu-buru menuju rumahnya. Ketika dia melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah Karina, secara refleks dia bersembunyi dari kejauhan supaya tidak ketahuan ataupun bertegur sapa. Zubaedah pun mengintip dari balik tembok pembatas gang kecil, dia ingin tahu apakah itu Karina dan apa yang pernah disebut Leha, apakah Karina bersama pria paruh baya bertubuh atletis tegap yang dia lihat bersama dengan Leha tempo hari?

Terlihat Karina sedang turun perlahan dari mobil, namun Zubaedah tercengang dia menutup mulutnya supaya tidak teriak karena dia sangat terkejut apa yang dia lihat dengan mata kepala sendiri. Yang dilihat Zubaedah, Karina bersimbah darah di bagian lengan baju kanannya. Hijab putihnya pun terlihat ada beberapa bercak darah, bahkan di wajahnya pun ada sedikit noda darah yang menempel. Lalu dia melihat pria paruh baya itu menghampiri Karina menyerahkan tumpukan box untuk catering.

“Kamu terlihat mencolok, apa sebaiknya ganti baju dulu di dalam mobil?” Tanya pria bertubuh tegap itu.

“Jam segini semua warga sepertinya jarang keluar rumah, aman bapak Asep.” Jawab Karina dengan senyuman.

Senyuman Karina bukan seperti senyuman yang ramah, senyuman jahat yang tanpa ampun. Senyuman yang kalau dihilangkan akan menjadi fatal untuk semua orang. Karina membuka salah satu boks katering itu, dan dia mengambil sebuah kerambit, senjata tajam asal Indonesia yang kecil namun mematikan.

“Penjahat seharusnya mati di tangan Tuhan duluan.” Kata Karina sambil melihat kerambit itu dengan memutar perlahan. “Tapi, Tuhan menyuruh tangan kanan-Nya….melalui saya.”

Zubaedah yang melihatnya dari kejauhan ingin berusaha pergi, karena terburu-buru dia menyentuh tong sampah di sebelahnya dan bunyi kencang sekali. Zubaedah langsung panik, dan keringat dingin muncul di sekujur tubuhnya. Karina yang mendengar itu langsung tanggap dan melihat ke arah bunyi itu.

Zubaedah yang pelan-pelan ingin kabur berbalik badan, dan terkejut karena Karina sudah ada di depan wajahnya. Zubaedah sudah tidak bisa berkata apa-apa dia panik, dan dia pasrah apa yang akan terjadi padanya. Zubaedah ingin menangis tapi tidak bisa mengeluarkan air matanya karena ketakutan.

“Mau kemana, Zubaedah? Buru-buru amat?” Tanya Karina sambil menyeringai jahat.

“Ng…ng…nggak Karina, aku…aku..” Zubaedah mulai bicara terbata-bata.

“Mau tahu ya, kenapa saya begini? Nggak cukup sudah bikin gosip murahan sama saya?” Karina ingin sekali menyakiti Zubaedah, namun pikirannya berkata lain. Zubaedah masih diam seperti patung dengan keringat dingin yang mengalir deras di wajahnya.

“Ya sudah…” Karina menyeringai dan mendekati Zubaedah. 

“Saya adalah pembunuh yang tidak kenal ampun. Katering saya mengandung racun yang mematikan, siapapun yang memakannya akan mati mengenaskan. Tapi saya juga suka menyayat leher korban saya dengan kerambit. Itu nikmat sekali rasanya.” Karina bercerita seperti dia menikmati sekali pekerjaannya.

“Mau tahu siapa yang saya bunuh? Semua penjahat yang kebal hukum. Yang tidak bisa dihukum oleh negara. Yang selalu bisa lolos ketika mereka punya kejahatan berat. Mereka harus diberantas. Untuk itulah saya yang menghukum mereka, anggap saja Tuhan mengirim hakim yang setimpal…yaitu saya. Ohhh…ingin tahu juga kenapa saya tidak ada suami? Dan kenapa saya tinggal sendiri dengan anak saya? Sini saya jelaskan. Kiara bukan anak kandung saya. Orang tuanya saya bunuh dengan tragis. Oh…itu menyenangkan sekali. Pasangan penjahat yang selalu lolos dari hukuman berat dari negara itu, sudah mengambil nyawa orang tua saya. Mereka bersalah, tapi tidak ada hukuman berat untuk mereka . Lalu Kiara, saya adopsi, karena saya tidak tega meninggalkan bayi umur 5 bulan. Saya tinggal di rumah besarnya selama 7 tahun untuk membesarkan Kiara seperti anak kandung saya sendiri tanpa dicurigai. Ketika Kiara bertanya kenapa ayahnya tidak pernah pulang saya bilang ke Kiara kalau sudah berpisah dengan ayahnya, karena ayahnya jahat suka menyiksa saya. Setelah itu, lalu kami memutuskan untuk pindah ke sini dengan alasan diusir pihak keluarga ayahnya. Saya berhasil membuat Kiara membenci ayahnya. Tapi, sekarang penyamaran saya terbongkar sama kamu, Zubaedah. Apa yang saya harus lakukan ke kamu untuk masalah ini?”

Zubaedah akhirnya menangis dan memohon ampun kepada Karina. Asep lalu menghampiri Karina dan Zubaedah. Lalu Zubaedah memohon ampun kepada Asep, supaya Zubaedah diselamatkan, dia rela melakukan apa saja supaya dia selamat dan keluarganya tidak diancam. Lalu Karina dan Asep saling bertatapan.

“Kamu mau melakukan apa saja?” Karina menunduk sambil memegang dagu Zubaedah. Zubaedah pun mengangguk sambil menangis.

“Baiklah…buat Leha konfrontasi saya. Datangi rumah saya bersama warga, seolah-olah saya memang bukan wanita baik-baik. Yakinkan Leha untuk bawa semua warga bahkan bawa pak RT sekalian. Setelah itu, saya akan buat Leha dipermalukan oleh seluruh warga, tanpa harus saya konfrontasi di depannya. Tugas kamu, kasih tahu saya kapan dia akan datang ke rumah saya, karena yang akan mempermalukan dia akan saya hubungi. Kejutan manis sekali untuk Leha, bukan? Bagaimana kamu sanggup?”

Zubaedah yang masih takut melihat Karina yang menyeringai, lalu Zubaedah terdiam sebentar. Dia berpikir apakah dia harus mengkhianati Leha? Atau dia harus meregang nyawa? Pada akhirnya demi keselamatannya dan keluarganya, Zubaedah menyetujui tawarannya.

“Bagus…” Karina menyeringai jahat. “Oh sebagai imbalannya, pak Asep akan memberikan kamu uang 500 juta rupiah. Anggap saja sebagai uang tutup mulut, dan hutang-hutangmu bisa lunas kan? Sisanya bisa buat kamu hidup enak.”

Zubaedah terkejut atas tawaran uang yang diberikan Karina. Dia bingung apakah harus senang atau sedih? Di sisi lain Zubaedah heran kenapa Karina tahu soal hutang-hutangnya? Zubaedah tidak mau tahu alasannya, dia berpikir sekarang dia selamat.

“Berapa nomor rekening bank kamu?” Tanya Asep yang sedang mengeluarkan telepon selulernya. Zubaedah memberikan secara spontan tanpa berpikir. 

Asep mengetik sesuatu di telepon selulernya, lalu menyuruh Zubaedah mengecek rekeningnya. Zubaedah bilang kalau dia tidak punya mobile banking di telepon selulernya. Lalu Asep memperlihatkan bukti transfer dari telepon selulernya. Zubaedah terkejut, melihat dana sebesar 500 juta rupiah ditransfer ke rekeningnya. Zubaedah melihat ke arah Asep dan Karina dengan penuh rasa kebimbangan.

“Berterima kasihlah dengan kami setelah kamu berhasil membuat kegaduhan…oh bukan…setelah Leha membuat kegaduhan di rumah saya. Kamu pulang sekarang, tenangkan diri, janji kami sudah kami penuhi. Bersenang-senanglah dengan uang itu. Tapi ingat, kamu harus membayar dengan apa yang kami tawarkan kepadamu.” Karina tersenyum jahat lalu meninggalkan Zubaedah dan diikuti oleh Asep.

Zubaedah masih terdiam. Lalu, Zubaedah berjalan pelan menuju rumahnya. Tapi, dia tidak langsung pulang. Dia menuju rumah mungil persis di depan rumah Karina dan mengetuk pintunya. Terlihat Leha yang membuka pintu itu, karena memang itu rumah Leha. Leha menanyakan, kenapa mampir dengan wajah heran.

“Mpok, kita harus usir Karina dari kampung ini.” 

Terlihat wajah Zubaedah dari ketakutan, berubah drastis menjadi wajah yang senang. Wajahnya yang senang dibalut dengan senyuman kecil yang licik, layaknya rubah yang siap untuk mengelabui mangsanya.        

                                    END

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)