Masukan nama pengguna
“Ini Gila Buk. Mana mungkin seorang abang ipar bisa menyukai adik iparnya sendiri. Adik kandung dari istrinya. Dia itu gila buk. Edan. Gak waras.” Omelku siang itu saat sedang makan siang bersama ibuku dirumah"
“Ya ini emang gila! Kasihan mbak hanum kakakmu itu. Hatinya sangat hancur saat tahu ternyata suaminya diam-diam suka sama kamu.” Jawab ibuk lemas dan sedih.
“Astrid kan dari dulu sudah bilang buk kalau mas pras itu memang playboy. Dia itu sering astrid pergokin jalan sama wanita-wanita cantik yang alasannya teman kerjalah, teman bisnislah. Mbak hanum juga tidak pernah tanggapin omongan astrid.” Aku menatap kesal pada ibu.
Ibuku diam sejenak dan menarik nafas dalam. Aku pun begitu. Wajahku memerah karena geram dan kesal. Selera makan ku pun mendadak hilang. Piring-piring yang penuh dengan berbagai macam lauk yang enak tampak tak lagi menggiurkan. Cuaca yang sudah panas malah semakin panas rasanya. Ibu memegang punggung tanganku dengan lembut dan menatap penuh arti pada bola mataku.
“Bapak sama ibuk sudah ambil keputusan. Solusi dari semua masalah ini yaitu kamu.” Ujar Ibu menatapku penuh harap.
“Kenapa dengan Aku, buk? Maksud ibuk gimana?”Aku makin tak mengerti.
“Bapak sama ibuk mau menikahkan kamu dengan anak teman bapak. Namanya Anjas. Bapak-ibuk fikir dengan cara kamu menikah maka abang iparmu tidak akan menyukai kamu lagi.” Ujar ibu lagi. Kali ini ibu tak berani menatapku. Ia hanya melihat kosong ke arah jendela.
“Apa Buk?” Pekikku sambil menarik tanganku dari genggaman ibu. Mataku melotot merah. Tak percaya. Keputusan seperti apa ini? Aku masih 20 tahun dan masih kuliah di semester 6 jurusan design. Cita-citaku menjadi seorang designer juga belum tercapai. Bahkan untuk memikirkan sebuah pernikahanpun aku tak pernah. Sekarang tiba-tiba aku harus menikah dengan seorang lelaki yang tidak aku cintai bahkan jelas-jelas aku tidak kenal sedikitpun.
“Astrid, ini bukan hanya masalah buat mbak Hanum mu. Tetapi juga buat mbak Afni mu. Dia baru saja dua bulan menikah dan hidup bahagia. Ibu khawatir lama-lama suaminya juga suka sama kamu. Sebelum itu terjadi kamu harus cepat menikah dan ikut dengan suamimu."
Aku tak menjawab ibuku karena mataku sudah dipenuhi bulir-bulir kaca yang hampir jatuh. Nafasku terasa berat. Aku bagaikan tercekik atau tergantung disebuah tiang tinggi. Mengapa semua bisa begini? Apa Salahku? Apa salah kakak-kakakku? Mengapa kecantikanku seolah-olah menjadi petaka buat keluargaku.
“Kamu tau kan Mbak Afni itu secara fisik tidak sesempurna kamu, bahkan ia terlambat menikah. Bukan hal mudah untuk dia bisa mendapatkan suami, hatinya nelangsa jika nanti pada akhirnya suaminya juga suka kamu. Ibuk mohon sama kamu nak.”
“Lalu bagaimana dengan Edo buk? Aku sangat mencintainya. Kami sudah sepakat akan menikah setelah dia mendapatkan pekerjaan dan lulus kuliah buk.”
“Edo memang lelaki yang baik tetapi dia bukan yang terbaik untukmu saat ini. Apa kamu tega sama mbak Afni mu yang selama ini telah banyak berkorban untukmu? Apa kamu tega merusak kebahagiaannya?”
Aku terdiam. Mengapa saat ini seolah-olah akulah penjahatnya. Akulah yang bersalah. Mataku berkaca-kaca. Apa salahku memiliki wajah yang lebih cantik? Mengapa harus aku yang disalahkan? Hatiku terus berontak dan membantah.
“Enggak ada jalan lain. Lusa keluarga calon suamimu akan datang melamar. Secepatnya pernikahan akan dilaksanakan dan Anjas itu memang lelaki yang jauh lebih tua darimu. Usianya sekarang 35 tahun tetapi dia sudah punya usaha peternakan sapi sendiri dan dia juga pemuda yang baik.” Jelas ibu lagi sambil kembali menggenggam kedua tanganku meyakinkanku.
Aku tersenyum miris.
“35 tahun buk? Ibuk sama bapak mau jual aku sama om-om? Tua banget buk. Aku aja masih 20 tahun dijodohkan sama laki-laki yang 15 tahun lebih tua dari aku. Ibuk sama bapak Tega. Kejam.” Kali ini tangisku benar-benar pecah. Aku menangis tersedu-sedu. Memberontak ketika ibu mencoba memelukku.
“Astrid dengan ibuk, dengar dulu. Percaya sama ibuk. Kamu tidak akan menyesal menikah dengan Anjas. Masalah kamu yang masih mau terus kuliah biar nanti ibuk yang bicara sama dia. Ibuk rasa dia tidak akan ada masalah. Ingat, kamu harus lakukan ini demi kakak-kakakmu, demi nama baik keluarga kita. Ibuk tidak bisa bayangin gimana tanggapan orang-orang kalau sampai tahu abang iparmu suka sama kamu. Pasti sangat memalukan. Bapakmu bisa saja kena serangan jantung mendadak karena malu.” Tegas ibu datar sambil beranjak meninggalkanku yang masih penuh emosi dan amarah yang tertahan di tenggorokanku. Aku benar-benar ingin berteriak sekuatnya. Ahhkkkhh,,,,
Keluarga ku ini memang kolot. Kalau memang suami-suami kakakku berbuat salah seperti itu kenapa harus dipertahankan? Apa nanti dengan aku menikah bisa menjamin bahwa mereka akan insaf dan kembali mencintai istrinya? Keluargaku memang sangat menentang perceraian. Kedua orangtuaku menganggap itu sebagai sebuah aib besar yang memalukan jika diketahui keluarga dan kerabat yang lainnya. Makanya walau mereka tahu abang-abang iparku yang bersalah mereka tetap menyuruh kakak-kakakku untuk bertahan dan dan akhirnya kini akulah yang menjadi korban dari pemahaman kedua orangtuaku itu.
Aku bisa saja menentang dan kabur dari rumah tetapi tidak mungkin itu kulakukan karena aku tidak sanggup durhaka kepada bapak dan ibukku dan yang paling membuatku tidak bisa menolak perjodohan ini adalah karena mbak afni. Kakakku yang nomor 2. Aku sangat menyayanginya. Usiaku dengan kakak-kakakku memang terpaut sangat jauh. Mbak afni dan aku saja berjarak 11 tahun. Dari dulu ia selalu mengalah demi kepentinganku dan selalu ada saat aku butuhkan. Ia baru dua bulan menikah dengan seorang lelaki pilihan orangtuaku. Karena memang mbak afni sulit dalam mendapatkan jodoh. Entah itu karena keadaan fisiknya yang terlalu gemuk dan pendek atau memang karena ia harus berjodoh dengan lelaki itu yang akan mendapatkan tanah dari kedua orangtuaku jika ia menikah dengan mbak Afni. Aku sendiri sebenarnya sudah memiliki seorang kekasih bernama edo dan keluargaku mengetahuinya. Namun, saat bapak dan ibuk memintanya untuk segera menikahiku ia menolak dengan alasan belum siap dan belum memiliki pekerjaan yang baik. Apalagi ia masih sama-sama kuliah sepertiku. Itu yang membuat orangtuaku kecewa dan akhirnya menjodohkanku dengan orang lain.
***
“Astrid, maafin Mbak. Mbak tahu kamu terpaksa melakukan ini. Kalau kamu enggak mau jangan dipaksakan. Mbak tidak mau merusak kebahagiaan dan masa depan kamu. Semua ini bukan salah kamu. Masih ada waktu untuk pergi, sebelum semua terlambat.” Ujar mbak afni sambil menangis saat aku sedang duduk didepan cermin dikamar pengantinku.
Ya, hari ini adalah hari ku mengakhiri masa lajangku dan memasuki hari-hari buruk ku. Kalian tahu? Bahkan pada saat lamaran minggu lalu, laki-laki bernama Anjas yang akan dijodohkan denganku itu tidak hadir dan lebih mementingkan bisnisnya. Ia hanya diwakili oleh kedua orangtuanya. Aku fikir karena itu bapak-ibuk pasti marah dan membatalkan perjodohan. Nyatanya tak ada yang berubah sedikitpun. Mereka tetap melanjutkan ide gila mereka.
“Astrid, jika kamu mau pergi sekarang ayo dek, belum terlambat. Mbak yang akan bertanggung jawab sama bapak-ibuk. Kamu berhak bahagia, dek.” Ujar mbak Afni lagi.
“Dan membiarkan bapak sama ibuk malu dan bapak kena serangan jantung lalu mati? Gitu? Sudahlah mbak. Biar aku jalani saja semua ini. Tidak ada pilihan” Tukasku kesal dan berapi-api.
“Kamu tidak perlu berkorban sebesar ini demi keluarga ini.” Ujar mbak Afni lagi. Sambil menangis memeluk dari samping. Mbak Afni memang sangat lembut. Aku selalu lemah melihat airmatanya.
“Astrid, Anjas itu lelaki yang baik. Aku kenal lama sama dia jadi kamu tidak perlu sekhawatir itu” Ujar mbak hanum tiba-tiba yang ternyata sudah berdiri di depan pintu kamar.
“Sama seperti mas pras? Dulu mbak juga bilang dia lelaki yang baik. tetapi nyatanya?” Celetukku kesal.
Mbak Hanum terdiam. Wajahnya sedih. Aku tau kata-kataku keterlaluan tapi aku tidak bisa menahan rasa marahku.
***
Inilah aku sekarang. Tinggal disebuah rumah besar dan bagus dengan difasilitasi pembantu dan sopir serta seluruh perabotan rumah tangga yang bagus. Tetapi sangat ironis, satu hari setelah pernikahan, suamiku langsung memboyongku pindah kerumahnya yang sangat jauh dari rumah orangtuaku. Dan anehnya ibuk dan bapakku langsung mengizinkan. Tidak seperti kakak-kakakku dulu yang selalu dilarang-larang pindah oleh ibukku. Bahkan ibuk sampai menangis waktu mbak hanum mau pindah hingga akhirnya sampai saat ini mbak hanum dan mbak afni masih tinggal dirumah orangtuaku yang memang memiliki rumah yang besar dan sebuah paviliun. Sedangkan aku? Dengan mudahnya mereka membiarkan aku pindah kerumah mas anjas bahkan secepat ini. Tidakkah mereka merasa sedih? Atau tidakkah mereka merasakan kesedihanku? Mungkin mereka berfikir lebih baik aku segera pergi agar suasana kembali nyaman tanpa kehadiranku lagi.
Suara pintu kamar yang terbuka membuyarkan lamunanku. Aku mematung duduk di atas kasur saat lelaki yang bergelar suami itu masuk ke kamar kami. Ya, kamar kami. Awalnya aku protes dan meminta tidur secara terpisah. Namun lelaki kutub utara ini menentang keras dan berkata jika aku ngotot silahkan untuk tidur di teras rumah saja. Kejam bukan? Dia lelaki yang kaku. Ternyata tidak mudah untuk mencintai mas anjas. Dia lelaki yang sangat dingin dan ketus. Malam pengantin kami saja kami lewati dengan tidur berpisah. Aku di ranjang dan mas anjas dilantai. Memang aku sih yang meminta begitu. Saat awal masuk kamar aku langsung mengatakan padanya bahwa aku tidak mencintainya dan aku mencintai orang lain. Aku terpaksa menikah dengannya dan aku tidak akan bisa melayaninya seperti yang ia inginkan. Tetapi tadinya aku berfikir ia akan merayuku atau mungkin marah dan memaksaku melakukannya tetapi ternyata dengan ketusnya ia mengatakan hal serupa padaku dan segera mengambil bantal dan tidur di lantai. Aku sempat terheran dengan sifat ketusnya. Namun, ini lebih baik jadi aku tidak perlu susah-susah lagi menghindarinya.
Mas Anjas tidak memandangku yang terdiam di atas kasur. Seolah aku tak ada. aku memandang wajahnya yang lusuh dan seperti sedang menyimpan masalah. Ia berdiri di depan meja riasku sambil membuka jam tangannya kemudian masuk ke kamar mandi. Aku beranjak dari tempat tidur dan kemudian merapikan crayon dan kertas-kertas bergambar design milikku. Beberapa saat kemudian mas Anjas keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk yang menutupi bagian bawahnya. Aku tersentak kaget. Gugup. Ini pengalaman pertamaku melihat lelaki dengan pemandangan seintim ini. Ia dengan santai berjalan ke lemari dan mengambil baju gantinya. Tunggu dulu! Jangan bilang ia mau memakai pakaian disini. Di hadapanku?
“Mas Mau ngapain?” Tanyaku bingung.
“Pertanyaan kamu itu aneh.” Ujarnya sambil menyorong kaos berwarna biru muda ke badannya. Ia terlihat tampan. Kenapa dengan otakku?
“Saya baru selesai mandi, jadi sekarang saya mau berpakaian.” Ujarnya lagi sambil memakai pakaian dalamnya.
Aku terpekik kuat. “Mas yang sopan dong. Kan disini ada saya. Jangan seenaknya buka-buka depan saya.” Teriakku kesal sambil menutup mataku dengan telapak tangan.
“Saya bertukar pakaian di dalam kamar, di depan istri saya. Terus tidak sopan darimana? Kamu yang tidak sopan, neriakin suami seperti neriakin maling. Udah buka mata kamu.” Ujarnya santai.
Aku berjalan mendekatinya. “Mas ingat ya, saya sama mas itu nikah karena terpaksa. Mas juga sudah janji sama saya untuk tidak ...”
“Untuk apa? Untuk tidak menyentuh kamu kan? Sekarang saya ada nyentuh kamu? Enggak kan? Iya kita memang dijodohkan tapi apapun itu kita tetap bernaung dalam pernikahan yang sah. Jadi apa yang saya lakukan tadi tidak ada yang salah baik dimata hukum ataupun di mata agama.” Balasnya sambil santai menyisir rambutnya yang basah.
“Salah dimata saya mas.” Aku semakin kesal.
“Ya itu masalah kamu. Sejauh ini saya sudah memperlakukan kamu dengan sangat baik dan terhormat bahkan ketika saya tidak mendapatkan hak-hak saya sebagai suami. Apa saya pernah protes?” Dia selesai menyisir rambutnya. Menatapku sesaat kemudian melangkah ke arah pintu.
“Saya mau ketemu rekan bisnis di sebuah restoran baru, mungkin kamu mau ikut?” Tanyanya di depan pintu.
Aku tidak menjawab. Lagi-lagi rasanya ingin menangis. Anjas tidak menungguku menjawab ajakannya. Ia langsung keluar kamar. Setidaknya ia membujukku atau menungguku. Ia seperti hanya basa-basi mengajakku. Aku benar-benar menikah dengan seorang beruang kutub. Menyeramkan. Mendadak aku rindu pada Ibuk. Rasanya ingin dipeluk oleh ibukku. Tapi sejak aku pindah ke rumah mas Anjas ibuk tak pernah mengangkat tlefonku. Ia hanya membalas pesanku melalui chat Wa. Ibuk bilang sedang sibuk. Aku memilih untuk tidur melupakan rasa sedih dan kesalku.
***
“Astrid, Kamu mau ikutan lomba membuat design kebaya gak? Tadi aku dapat info dari tante aku yang kebetulan panitia lomba design ini. Hadiahnya lumayan loh. Jalan-jalan ke jepang dan design yang menang rancangannya akan di peragakan dalam peragaan busana budaya indonesia di London.” Suara mira sahabatku menelfon saat aku sedang asyik menggambar sebuah design gaun pengantin di kamarku. Hari ini aku tidak Kuliah karena sedang tanggal merah.
“Yang benar kamu, Mir? Aku mau banget. Siapa tahu ini bisa jadi awal buatku jadi seorang designer terkenal” Jawabku kegirangan.
“Ya benar lah. Pokoknya kamu siapin aja design busana kebaya kamu yang bagus, unik dan beda dari yang lain. Ya pokoknya harus kreatiflah. Oke? Dan lusa harus dah kelar karena lusa hari terakhir penerimaan design yang akan di perlombakan.”
“Oke. Aku akan siapin secepatnya. Thanks ya Mira.”
“Siipp” Jawabnya sambil memutuskan panggilan.
Usai menerima kabar dari mira, aku segera berfikir keras kira-kira design kebaya seperti apa yang akan ku buat untuk perlombaan itu. Pokoknya aku harus menang. Ini adalah cita-citaku. Melihat rancangan desingku ada dalam peragaan busana tentu akan sangat membanggakan sekali apalagi jika ini membawa nama indonesia di kancah internasional. "Ayo astrid, berfikir."gumamku dalam hati.
Sepanjang hari aku hanya di kamar berkutat dengan kertas, pensil dan crayonku. Lantai kamarku sudah di penuhi oleh lembaran-lembaran kertas yang menjadi korban kegagalanku menggambar design yang bagus. Otakku terus berfikir keras membayangkan design kebaya yang akan kubuat hingga aku tak menyadari malam telah menyapa dengan sinar rembulannya yang masuk dicela-cela ventilasi jendela kamarku yang remang-remang karena hanya di temani sebuah lampu meja belajar untuk aku menggambar design. Aku pun lupa meyalakan lampu kamar.
Tiba-tiba lampu kamarku menyala. Seorang pria datang berjalan ke arahku. Aku tahu namun tidak mengacuhkan kedatangannya.
“Sedang apa kamu? Gelap-gelapan di kamar.” Mas Anjas merebahkan badannya di tempat tidur. Aku melihat wajahnya sangat lelah sekali.
“hahhh, Nikmat sekali rasanya. Saya sedang tidak enak badan. Izinkan saya malam ini saja tidur di kasur.” Ujarnya sambil memejamkan matanya dengan tangan kanannya berada di keningnya. Ya, tak terasa sudah hampir 1 bulan kami menikah dan selama itu pula ia tidur di lantai beralaskan selimut. Ia tak pernah mengeluh. Mungkin sekarang ia benar-benar sedang sakit.
Aku tak menjawabnya. Aku kembali fokus menggambar hingga tak terasa malam sudah larut. Aku juga sudah mulai mengantuk. Ku lirik mas Anjas yang sudah tertidur pulas di kasur. Ia sudah sangat terlelap. Aku mendengar suara dengkurannya yang halus. Ia benar-benar tampan. Wajahnya begitu berkharisma. Aissh..aku memukul kepalaku. Lagi-lagi ada yang salah dengan otakku.
Aku membaringkan badanku di lantai beralaskan selimut. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Jadi seperti inilah yang dirasakan mas Anjas setiap malam. Aku memejamkan mataku hingga jatuh terlelap.
Aku merasakan badanku seperti melayang di udara. Aku membuka kedua mataku tepat saat mas Anjas meletakkan badanku mendarat di atas kasur. Ia memindahkanku yang terlelah di lantai ke kasur.
“Mas ngapain?”
“Kamu terlalu sering bertanya saya ngapain.” Ujarnya malas kemudian merebahkan badannya di kasur tepat di sebelahku. Aku refleks bergerak ingin beranjak turun le lantai namun dengan sigap tangan mas Anjas memegang pergelangan tanganku.
“Astrid tolong! saya benar-benar sedang tidak enak badan. Saya izin untuk berbaring di kasur bukan izin bertukar tempat dengan kamu. Saya hanya ingin istirahat. Kamu tidak perlu turun ke lantai.” Ujarnya lagi. Ia menatap ke bola mataku. Dia tak pernah seperti ini. Memang aku merasakan suhu badannya panas.
Aku mengangguk pelan. Kemudian membaringkan badanku di sebelahnya dengan kondisi hati yang bagai genderang perang tak tenang. Jantungku tidak aman. Terlebih saat ku rasakan ia yang sudah jatuh terlelap tanpa sadar memelukku. Nafasnya terasa hangat di wajahku. Ia begitu wangi dan aku suka itu. Aku pasrah tertidur dalam peluknya.
***
Siang aku diantar pak Karyo si sopir untuk pergi belanja ke supermarket membeli kebutuhan harian. Masalah belanja rumah tangga memang aku yang mengaturnya itu pun karena paksaan dari si Anjas itu. Aku sebenarnya tidak mau karena aku merasa repot harus mengatur semuanya. Ya, aku bagaikan pembantu. Hebat bukan? Bahkan aku tidak tahu bagaimana nasib cita-citaku yang ingin jadi designer hebat. Lamunanku buyar saat di parkiran aku melihat mas Anjas turun dari mobilnya bersama seorang wanita cantik yang usianya sepertinya sama sepertiku. Mereka saling tersenyum dan bercengkarama ramah sambil memasuki sebuah butik di dekat komplek sekitar supermarket yang mau kudatangi. Aku tahu butik itu sangat terkenal. Di butik itu biasanya tempat pasangan atau keluarga mau fitting baju pernikahan atau menjahit baju sesuai keinginan dan model sendiri. Kenapa mereka datang kebutik itu? Mungkinkah itu kekasih Anjas sebelum menikah denganku dan mungkinkah mereka mau pesan baju untuk menikah? Ya terserahlah aku tidak peduli. Tetapi mendadak nafasku menjadi sesak. Amarahku memuncah. Mengapa selalu aku yang menjadi korban atas keegoisan orang-orang disekitarku. Keinginanku untuk berbelanja pun pupus dan akhirnya aku minta diantar kembali pulang.
Aku menjalani aktivitasku seperti biasa. Pergi ke kampus, nongkrong bareng teman-teman, jalan-jalan, nonton dan segala aktivitas wanita seusiaku pada umumnya. Aku memang jarang di rumah karena juga dirumah tidak ada siapa-siapa selain pembantu dan sopir. Mas anjas juga jarang di rumah ia lebih suka berada di peternakan dan ternyata dia type lelaki gila kerja. Atau mungkin dia lebih memilih menghabiskan waktu bersama pacarnya itu. Jadi buat apa aku dirumah?.
Tak terasa sudah lebih dua bulan aku menjalani kehidupan berumah tangga yang penuh kepalsuan ini. Jujur, aku mulai rindu pada ibuk dan rumahku. Aku sudah berulang kali memohon pada ibuk agar di izinkan ke rumah tetapi ibuk masih melarangku untuk datang kerumah. Apalagi ntah bagaimana ibuk bisa mengetahui bahwa aku tidak menjalani tugasku sebagai istri dan ibuk semakin marah. Aku sedih. Aku kesepian. Aku merasa kehidupanku lebih buruk dari sebelumnya. Aku kangen rumah.
Karena kesepian aku mulai kebablasan bermain di luar bahkan kadang sampai larut malam. Hingga suatu malam aku bertengkar dengan mas anjas karena aku pulang sudah jam 12 malam bahkan saat ia sudah di rumah. Ia marah besar dan merasa aku sudah kelewatan karena tidak menghargai dia sebagai kepala rumah tangga dan pemimpin di rumah. Aku sudah minta maaf tetapi ia tidak mau mendengarkan aku. Tetapi ada yang aneh dengannya. Wajahnya ada luka lebam seperti orang habis berkelahi.
“Pokoknya mulai sekarang kamu cuti dulu kuliah. Dan tidak ada lagi keluar rumah pergi jalan-jalan sama teman-teman kamu itu. Dan mulai besok pekerjaan rumah semuanya kamu yang kerjakan karena Mbok inem mulai besok aku pindahkan kerja di rumah orangtuaku. Kalau mau pergi ke pasar atau supermarket kamu akan diantar sopir tidak boleh pergi-pergi sendiri lagi. Paham kamu?”. Ujarnya penuh kemarahan padaku malam itu. Matanya berapi-api. Aku tidak pernah melihat dia semarah itu.
“Loh, enggak bisa gitu dong. Tinggal dua semester lagi aku bakal skripsi. Lagian kamu enggak ada hak larang-larang aku. Aku enggak mau!” Jawabku lebih marah.
“Siapa bilang aku tidak punya hak? Sekarang aku yang membiayai kehidupan kamu mulai dari kuliah kamu sampai hal terkecil yang kamu gunakan itu aku yang biayai jadi aku punya hak untuk melarang kamu. Suka enggak suka pokoknya kamu harus terima itu.”
“Aku benci sama kamu anjas. Ternyata kamu sama saja dengan suami-suami kakakku. Kamu fikir kamu itu hebat? Lihat wajah kamu ada luka lebam. Kamu habis berantem kan? Kenapa? Belain wanita kamu? Kamu fikir aku tidak tahu kamu punya selingkuhan di belakang aku. Kamu fikir kamu itu suci? Kamu fikir kamu lebih baik dari aku.” Tuduhku penuh amarah dengan airmata yang sudah mengalir.
Dia menarik nafas dalam-dalam dan menatapku lekat-lekat.
“Benar. Aku habis berantem. Aku belain wanita yang aku cintai. Puas kamu?” Jawabnya kasar.
Nafasku semakin berat. Aku tidak percaya.
“Aku sudah menduga. Paling wanita yang kamu cintai itu istri orang kan? Makanya suaminya marah.” Aku semakin ngaur menuduhnya dengan penuh emosi.
“ Iya benar. Sekarang kamu mau apa?”
“Aku gak mau apa-apa. Aku Cuma butuh bahu untuk aku bersandar. Aku tenggelam sendirian dalam sepi. Kamu, ibuk, bapak ku bahkan semua keluargaku gak pernah ada untuk aku. Aku selalu sendirian. Aku selalu belajar untuk menerima semua ini, menerima kamu dan pernikahan ini tapi kamu selalu cuek dan dingin sama aku. Sekarang aku akan ikuti semua keinginan kalian. Walau aku harus mati dalam kesepian. Aku benci sama kalian semua.” Aku berbicara sambil menangis segugukan. Anjas terdiam, menatapku kalut saat ia mencoba mendekatiku aku segera berlari meninggalkannya.
Aku serasa mau meledak dan berlari meninggalkannya masuk kekamarku. Aku benci dia. Aku benci lelaki itu. Itukah lelaki yang dibilang ibuk dan mbak hanum baik. Dia itu sampah. Busuk. Menjijikan.
Di kamar aku menangis sejadi-jadinya. Saat-saat seperti ini aku ingin sekali dipeluk ibuku. Tetapi dari tadi ibuk tidak menjawab telfonku. Hanya sms masuk dari ibuk yang bilang jangan telfon-telfon ibuk terus. Ibuk lagi sibuk. Terlalu banyak masalah yang harus ia selesaikan. Aku hancur. Kali ini aku benar-benar merasa terbuang. Aku putri yang terbuang. Malang.
Ternyata kata-kata dari mas anjas tidak sebuah ancaman belaka. Ia benar-benar melarangku kuliah dan mbok inem tidak lagi bekerja dirumah. Sekarang semuanya aku yang mengerjakan sendiri mulai dari mencuci baju, memasak, membersihkan rumah pokoknya semuanya. Mas anjas pun sekarang selalu sarapan, makan siang dan makan malam dirumah. Ia mungkin ingin sering di rumah agar bisa mengontrolku ada atau tidaknya di rumah. Aku sangat membencinya. Sejak kejadian malam itu kami tidak terlalu banyak berkomunikasi. Jika terpaksa makan bersama di meja makan maka kami hanya diam sambil menikmati makanan masing-masing.
Aku sudah berulang kali menghubungi ibuk namun tetap tak ada jawaban. Aku benar-benar kesal dan sakit hati. Mungkin kalau aku kehilangan akal sehatku bisa saja aku bunuh diri. Namun aku tidak sebodoh itu. Sejak kejadian itu aku jarang makan. Maag ku pun sering kambuh tapi tak kupedulikan. Hingga siang itu saat akan turun dari tangga rumah tiba-tiba pemandanganku berubah menjadi gelap dan akhirnya aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Yang kutahu saat aku membuka mata Aku terbaring di sebuah kamar rumah sakit dengan balutan perban di kepala dan infus yang sudah terpasang di pergelangan tanganku. Kulihat anjas duduk disampingku. Ia tersenyum manis saat melihatku sadar. Bahkan aku tak pernah melihat ia tersenyum semanis itu. Tetapi aku jijik melihat senyumnya.
“Ceraikan aku mas! Kalau kamu masih punya hati nurani tolong ceraikan aku. Karena aku tidak sanggup hidup seperti ini. Aku mau pulang kerumah ibuk.” Itu kata-kata pertama yang keluar dari mulutku saat aku sadar. Mas anjas terdiam sesaat.
“Aku mau temui dokter dulu.” Ujarnya mendadak dingin tanpa mengindahkan pernyataanku barusan. Ia pun beranjak pergi.
Sesaat kemudian ia kembali datang. Dia menyampaikan padaku pesan dari ibuk yang katanya belum bisa menjengukku karena masih ada hal penting yang harus diurus. Kakak-kakakku dan bapak juga tidak bisa datang. Aku hanya pasrah dan diam. Lagi-lagi airmataku mengalir dengan suara yang tertahan ditenggorokanku. Apa aku tidak penting buat mereka? Hari ini aku sudah diperbolehkan pulang oleh dokter karena luka dikepalaku hanya luka ringan. Aku pulang dengan hati tak karuan. Didalam mobil pun aku hanya diam begitupun mas anjas. Kesepian dan keheningan benar-benar mendera masuk dalam tiap-tiap sendi tulangku dan darahku. Aku bahkan merasa sudah tidak berarti lagi.
Aku duduk ditepi sebuah kolam ikan dirumahku. Bukan, tepatnya rumah mas anjas. Tatapan kosong menatap jauh kedalam kolam melihat ikan-ikan kecil itu berenang riang kesana kesini. Andai aku bisa sebahagia mereka. Tiba-tiba bel berbunyi dan aku segera membuka pintu ruang tamu dan ternyata seorang wanita paruh baya yang datang dengan tatanan busana yang rapi dan cantik. Ia memperkenalkan diri sebagai penjahit di sebuah butik. Ia mau mengantarkan baju pesanan mas anjas yang sudah selesai dijahit. Aku melihat sebuah kebaya cantik yang modelnya tak asing bagiku. Betapa kagetnya aku saat ingat bahwa design kebaya itu adalah design kebaya yang aku buat sendiri. Dasar anjas pencuri designku. Apa dia tak bisa mencari model lain? Aku semakin emosi melihat kebaya itu.
“Maaf mbak, apa mbak ini istrinya mas anjas?” Tanya wanita itu.
“Bukan. Istrinya ya tentu saja wanita yang ikut dengannya untuk membuat kebaya ini.” Jawabku ketus.
Wanita itu tersenyum. “Itu mbak ani. Sepupunya mas anjas. Mas anjas bilang dia mau buat kebaya untuk hadiah ulang tahun istrinya yang tinggal dua hari lagi. Keluarga mas anjas sudah lama berlangganan di butik saya tetapi waktu pernikahan mas anjas saya tidak bisa datang karena sedang diluar kota. Begini saja. Saya titip kebaya ini untuk mas anjas.” Ujarnya sambil tersenyum menatapku. Mungkin dari tadi ia sudah tahu bahwa akulah istri anjas yang sedang penuh kecemburuan saat ini.
Selepasnya perginya wanita itu aku pun lama menatap pada kebaya itu. Apakah istri yang dimaksud mas anjas adalah aku? Aku baru ingat ulang tahunku memang tinggal dua hari lagi. Tetapi untuk apa dia memberiku hadiah? Bukankah dia juga tidak suka padaku. Hubungan kami pun sangat buruk . Aku semakin kebingungan.
Ditengah kebingunganku aku dikagetkan dengan bunyi di handphone ku yang berdering tanda ada panggilan masuk. Saat kujawab suara mbak Hanum yang sedang menangis tersedu-sedu terdengar dari dalam handphoneku. Lama aku mendengarkan ceritanya hingga akhirnya airmataku jatuh lagi terurai dan tanpa basa-basi kuputus telfon saat mbak hanum masih bicara. Aku berlari keluar rumah mencari pak Karyo. Aku ingin ia mengantarkan ku ketempat mas anjas berada sekarang. Di perjalanan perkataan mbak hanum menari-nari dibenakku.
“Semua sudah berakhir astrid. Aku, Bapak dan Ibuk baru saja pulang dari pengadilan agama. Mbak dan mas Pras sudah bercerai. Maaf kalau selama ini kami tidak mempedulikanmu. Bapak dan ibuk sibuk mengurus rumah tanggaku hingga perceraian kami. Tadinya aku masih mau bertahan walau kutahu ternyata dia menikah lagi tetapi saat dia merendahkan harga dirimu di depan Anjas, aku tak terima. Anjas juga begitu. Anjas dan Pras berkelahi di rumah ibuk karena Anjas tak terima saat mas Pras menuduh kamu tidak perawan lagi dengan pacarmu dulu. Pras Memfitnah keluarga kita dengan mengatakan kamu dinikahkan dengan Anjas karena kamu wanita nakal. Pras selalu bilang anjas lelaki lemah yang tak bisa menjadi lelaki sejati. Bayak fitnahan dari pras untukmu yang membuat Anjas gusar dan akhirnya memukul Pras. Mereka pun saling memukul. Saat itulah mbak langsung minta cerai dengan Pras. Astrid, Anjas itu benar-benar mencintaimu. Ia sering ke rumah untuk berdiskusi dengan ibuk tentang kamu. Kami semua tahu kalau kamu susah sekali untuk mencintainya apalagi dia memang lelaki yang kaku dan cuek tapi percayalah Astrid bahwa ia benar-benar mencintaimu. Itu sumpah dia pada bapak dan ibuk.” Itulah sepenggal cerita dari mbak hanum yang kudengar tadi di telfon.
Diperjalanan aku tak henti menangis. Mengingat semua perlakuan dan kata-kata jahatku kepada mas Anjas. Aku teringat malam ketika kami bertengkar. Ia mengaku berkelahi demi membela wanita yang ia cintai, apakah wanita itu aku? Ahkk... rasanya jauh sekali menuju peternakan mas Anjas.
Saat sampai di peternakan aku segera berlari mencari mas anjas. Kulihat mas anjas sedang berbaring diatas rerumputan hijau di tepi danau kecil. Ini pertama kali aku datang ke peternakan ini. Tempatnya sangat asri seperti desa kecil yang hijau dan penuh pepohonan. Aku berlari mendekati mas Anjas yang masih belum menyadari kehadiranku. Wajahnya ia tutup dengan topi yang biasa ia pakai ke peternakan. Aku tak tahu lagi harus berkata apa. Mulutku terkunci. Airmata terus saja jatuh. Mendadak aku merasa sangat sedih melihatnya. Aku terus berlari menghampiri mas anjas dan saat sampai tanpa fikir panjang aku langsung memeluknya dengan sangat erat. Kubiarkan airmataku tumpah membasahi bajunya yang tak sedikitpun tercium amis. Ia gelagapan melihatku. Ia sendiri terkejut dan bingung. Ia mencoba duduk dan melepaskan pelukanku dengan lembut.
“Astrid, kamu ngapain?” Ia masih saja Kaku.
“itu kata-kataku mas.” Ujarku mencoba bercanda walau mataku masih mengeluarkan cairannya.
“Mas serius, kamu kenapa kesini? Kamu nangis kenapa?” Tanyanya sedikit panik.
“Semua karena kamu mas. Kenapa kamu selama ini cuek sama aku? Aku kan istri kamu.” tanyaku sambil menangis manja
“Tunggu! tunggu!!! Aku masih gak ngerti.” Dia tampak kebingungan.
“Masssss...iihhh...lemot amat sih suami ku ini.” celetukku sambil mencubit pinggangnya.
Mas Anjas gelagapan mendapati perlakuan manjaku padanya. Terlebih ketika aku memanggilnya dengan sebutan suami. Mungkin ia berfikir ia masih bermimpi dalam tidurnya.
“Sekarang aku mau tanya sama mas, Mas mencintaiku?” Tanyaku lagi serius sambil merangkul kedua pinggangnya. Saat ini kami berhadapan.
Mas Anjas terdiam tak menjawab. Ia memandang ke arah danau. Mengalihkan pandangannya dari mataku. Sedetik. Dua detik hingga hampir 1 menit ia diam tak kunjung menjawab. Aku mulai cemas. Apakah aku yang kegeeran hanya karena cerita mbak Hanum. Senyum pedeku seketika berganti menjadi malu. Wajahku memerah seperti tomat. Aku melepaskan gengaman tanganku pada pinggang mas Anjas. Sepertinya aku salah paham.
“Maaf mas, sepertinya aku salah paham.” Ujarku salah tingkah. Rasanya ingin menangis lagi. Oh tuhan kenapa aku cengeng?
Saat aku ingin berdiri, tangan mas Anjas dengan cepat menahanku dan aku merasakan tekanan pada kepalaku yang terasa di dorong menghadap padanya. Seketika ia menempelkan bibirnya dengan lembut ke bibirku. Aku terdiam saat bibirnya yang wangi itu mulai melumat bibir tipisku. Ia terus menikmati bibirku dengan tangannya yang memelukku erat.
Aku menarik diri saat aku merasa mulai kehabisan nafas. Lelaki tua ini seperti sedang berbuka puasa saja. Aku malu menatap matanya yang ntah mengapa mendadak sayu.
“Jangan pernah bertanya itu lagi, bahkan saya rela tidur di lantai demi kamu, saya rela menahan hasrat saya saat melihat kamu tertidur indah di kasur, kamu tahu betapa gilanya saya setiap memandang kamu. Omelan mu menjadi candu bagi saya. Itu semua karena apa? Karena saya mencintai kamu.” Jawabnya serak sambil memandang kedua bola mataku.
“Kenapa kamu gak pernah bilang mas? Kenapa kamu malah mengikuti semua keinginan saya?”
“Karena saya tidak mau mengecewakan kamu, saya tidak mau membuat kamu takut sama saya. Ibuk bilang kamu itu keras kepala tapi cengeng dan penakut. Sama kamu harus sabar dan pelan-pelan. Saya fikir selama kamu menjadi milik saya maka saya tidak peduli dengan semua aturanmu. Tapi tanpa saya sadari ternyata sifat saya justru menyakiti kamu. Saya menyesal tapi saya tak pandai mengatakannya. Saya takut kamu meninggalkan saya jika saya terlalu banyak bicara.” ujarnya lagi sambil mengusap lembut bibirku dengan jari jempolnya.
“Tapi mas keras sama saya. Mas larang saya Kuliah. Mas buat saya kesepian.”
“Itu saya akui saya salah. Saya cemburu. Saya takut kamu salah pergaulan dan balikan dengan mantan kamu. Malam itu saya benar-benar tidak bisa mengontrol diri. Saya tahu kamu menangis semalaman di kamar tapi saya tak berani mendekati saya takut tak bisa menahan diri dan lebih menyakiti kamu. Makanya saya hanya bisa menyalahkan diri saya dari balik pintu kamar hingga kamu terlelap dalam tangismu.”
“Massss...” Kali ini aku yang merasa bersalah.
“Waktu ibuk dan bapak saya bilang saya mau dijodohkan sama kamu saya bahagia sekali. Saya tahu siapa kamu karna saya dulu sering melihat kamu ketika main ke rumah kamu. Tapi waktu tahu kamu sudah punya kekasih yang kamu cintai saya jadi merasa bersalah. Saya merasa seperti pecundang. Waktu malam pertama kita kamu mengatakan bahwa kamu mencintai lelaki lain dan itu membuat saya terluka tetapi saya tetap egois selama saya memiliki kamu. Maafkan saya jika sudah membuat kamu sedih dan kesepian.” ujarnya lagi kali ini matanya yang berkaca-kaca.
“Massss... Aku sudah tahu semua. Mbak Hanum sudah cerita sama aku. Makasih mas kamu sudah jadi garda terdepan yang membelaku ketika ada yang memfitnahku. Terimakasih mas sudah percaya kalau aku bukan wanita nakal walaupun mas belum pernah mendapatkan hak mas sebagai suami. Maafin Astrid, Mas!” Aku menangis lagi.
“Tidak boleh ada yang merendahkan kamu, istriku. Bahkan diriku sendiripun. Tak ada yang boleh merendahkanmu!”
“Makasih Mas, makasih sudah sabar sama Astrid. Mas membuat Astrid yakin dan percaya sama mas.”
“Cuma saya yang boleh jadi bahu tempat kamu bersandar. Jangan yang lain. Karena aku mencintai kamu.”
“Masss... Astrid sudah jatuh cinta sama mas. Jangan pergi dari Astrid!” Aku berhambur ke pelukannya. Mas Anjas memelukku erat sambil berbisik.
“I love you, my wife Astrid”
***THE END***