Masukan nama pengguna
Bab 1: Jeruji Besi dan Rasa Dingin
Aleta meringkuk di sudut selnya yang sempit, kakinya ditarik rapat ke dada.
"Kenapa Ayah tega padaku?" Gumam Aleta seraya terisak. Matanya sudah sembab karena terus menagis.
Dinginnya beton menembus tipisnya baju tahanan berwarna oranye yang dikenakannya. Semilir angin masuk melalui ventilasi sel yang berukuran kecil menambah dingin pada tubuhnya.
Tubuh Aleta gemetar, bukan hanya karena kedinginan, tapi juga karena rasa takut yang tak berkesudahan.
Pikirannya melayang, memikirkan masa depannya nanti. Bagaimana dirinya bisa keluar dari tempat ini. Tempat di mana para penjahat di hukum. Sedangkan dirinya berada di sini karena sebuah tuduhan.
Sudah sebulan Aleta mendekam di penjara atas tuduhan yang tak pernah dia lakukan. Tuduhan keji yang menghancurkan masa depannya dan membuatnya terpisahkan dari Revan, kekasihnya. Air mata Aleta mengalir membasahi pipinya, membayangkan wajah Revan yang penuh kecemasan dan kebingungan saat dia ditangkap.
"Tidak! Aku tidak bersalah! Revan tolong aku!" Teriaknya waktu itu.
Malam itu dirinya tengah makan malam dengan Revan di sebuah restoran, dan tiba- tiba 5 orang polisi masuk dan langsung menangkapnya begitu saja.
Tentu Revan tidak tinggal diam, dia mencegah para polisi itu membawa kekasihnya.
"Kalian apa apaan!! Apa salah kekasihku?!" Teriak Revan.
Namun para polisi itu tetap membawa Aleta keluar dan pergi ke kantor polisi.
Revan putus asa, dia berjanji akan membebaskan Aleta dari penjara.
Sekarang dinginnya jeruji besi sudah melekat pada tubuh Aleta.
"Ayah, tolong aku, kenapa Ayah tega padaku?" bisik Aleta lirih, suaranya bercampur dengan isak tangis.
Ayahnya, orang yang seharusnya melindunginya, justru menjadi dalang di balik semua tuduhan ini. Dendam lama dan rasa iri terhadap kebahagiaan Aleta telah membawanya ke jalan kegelapan.
Ya, seharusnya Aleta lah yang melaporkan sang Ayah, karena Ayahnya lah yang sering menyiksanya. Bahkan nyawa ibunya saja melayang di tangan Ayahnya. Aleta tak habis pikir mengapa ayahnya tega menjebaknya dalam jeruji besi, merenggut kebebasannya dan masa depannya.
Di tengah isakannya, dia bertekad akan memasukan Ayahnya ke penjara bersamanya. Setidaknya, Ayahnya tidak bebas dengan kesalahan yang sudah dia lakukan terhadapnya dan juga Ibunya.
Bab 2: Secercah harapanan di Balik Tembok
"Aaakkhh!"
Prang!
Piring berbahan seng itu terjatuh kala Aleta mengantri untuk mengambil makanan.
Mata Aleta melihat ke arah perempuan bertato yang baru saja menyerobot antriannya.
"Kenapa lo! Mundur sana!" Bentak wanita bertato itu.
Aleta terpaksa mengalah, melawanpun sepertinya tidak akan bisa. Sekali lihat saja, wanita itu pasti akan menghajarnya sampai tidak bernafas.
Tentu Aleta tidak mau hal itu terjadi. Dia ingin bebas, bertemu dengan kekasihnya dan pergi dari tempat terkutuk ini.
Hari-hari Aleta di penjara penuh dengan penderitaan dan keputusasaan. Ia dijauhi teman-teman sepenjaranya, dicap sebagai penjahat dan anak durhaka.
Padahal semua temannyapun sama, mereka juga pasti di penjara karena melakukan hal kriminal.
Sepertinya julukan mereka padanya salah. Memang sepertinya inilah hukuman di dalam penjara yang membuat para napi kabur.
Tuduhan pelenyapan keluarga, ibu, anak, mereka sangat benci kepada napi yang masuk karena melenyapkan keluarga sendiri.
Seharusnya mereka bertanya, bahkan dirinyalah yang korban disini. Tapi biarlah, semoga Tuhan segera membuka kebenarannya.
Hanya Revan yang selalu setia menemaninya, meski hanya melalui surat-surat yang diantarkan oleh pengacaranya.
Sejak dirinya masuk ke dalam penjara, Revan segera membayar seorang pengacara kenalan keluarganya untuk membantunya terbebas dari dinginnya jeruji besi.
Surat-surat Revan menjadi secercah harapan bagi Aleta. Kata-katanya yang penuh kasih sayang dan dukungan memberinya kekuatan untuk bertahan hidup.
Revan berjanji akan membuktikan ketidak bersalahan Aleta dan membebaskannya dari penjara. Aleta terus berpegang teguh pada janji Revan. Ia menghabiskan waktunya dengan membaca buku dan mempelajari hukum.
Beruntung di lapas wanita ini, semua napi di bebaskan di hari tertentu, namun tetap betada di dalam area lapas. Di saat itulah Aleta meluangkan waktunya untuk membaca buku tentang hukum. Berharap suatu saat nanti dia bisa membela dirinya di pengadilan.
Aleta tak ingin menyerah. Dia ingin membuktikan bahwa Ayahnyalah yang penjahat, dan bukan dirinya. Dia ingin kembali bersama Revan.
Bab 3: Kebenaran Terungkap
Perjuangan Aleta tidak sia-sia. Berkat kegigihan Revan dan bantuan pengacara yang handal, bukti-bukti yang menguatkan ketidak bersalahan Aleta perlahan-lahan terungkap. Satu demi satu, kebohongan ayah Aleta terbongkar.
Di mulai dari perlakuan buruknya terhadap Aleta dan juga sang ibu sampai nyawa sang ibu melayang.
Di pengadilan, Aleta akhirnya berkesempatan untuk membela diri. Dengan suara yang tegar dan penuh keyakinan, dia menceritakan semua yang terjadi, tentang kekejaman ayahnya dan bagaimana dia dijebak dalam sebuah kesalahan yang sebenarnya Ayahanyalah si pelaku utama.
Ayahnya terus mengelak, berbagai alasan di ucapakannya untuk menyudutkan dan membuat seolah olah dialah yang menjadi korban. Aleta tidak tinggal diam, dia terus menceritakan semua perlakuan Ayahnya yang kejam. Namun Ayahnya bisa membalikan fakta, sehingga Aleta terdiam dan tidak tahu harus berkata apalagi.
Namun, Revan dan pengacaranya telah menemukan banyak bukti dan saksi. Revan membawa 5 saksi, yaitu tetangga di sekitaran rumah Aleta yang selama ini memang sering mendengar cekcok dan suara jeritan Aleta dan juga Ibunya.
Hakim yang adil dan bijaksana akhirnya memutuskan untuk membebaskan Aleta. Air mata kebahagiaan mengalir di pipinya saat dia melihat Revan mendekatinya dengan senyuman lebar. Revan memeluknya erat, merasakan kehangatan dan cinta yang selama ini dia rindukan.
Bab 4: Menuju Masa Depan yang Baru
Aleta dan Revan keluar dari pengadilan sebagai orang bebas. Rasa bahagia dan lega membanjiri mereka berdua. Aleta tak sabar untuk memulai hidup baru bersama Revan, jauh dari bayang-bayang masa lalunya yang kelam.
Ayah Aleta dijatuhi hukuman atas perbuatannya. Aleta tak menyimpan dendam padanya, tapi dia tidak ingin melihatnya lagi. Dia ingin fokus pada masa depannya bersama Revan, membangun kehidupan yang penuh cinta dan kebahagiaan.
Karena Aleta sudah tidak mempunyai siapapun lagi. Akhirnya memutuskan untuk meninggalkan kota itu dan memulai hidup baru di tempat lain bersama Revan.
Beruntung orang tua Revan merestui hubungan mereka.
Di sana, mereka bisa membangun rumah tangga yang harmonis dan penuh kasih sayang. Aleta yakin bahwa masa lalunya yang kelam tak akan terulang kembali. Dia akan selalu berpegang teguh pada cinta dan kesetiaan Revan, dan bersama-sama mereka akan membangun masa depan yang indah.
Epilog
Beberapa tahun kemudian, Aleta dan Revan telah hidup bahagia bersama. Mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik dan cerdas. Aleta telah membuka toko buku kecil di kota tempat mereka tinggal. Dia senang dikelilingi buku-buku dan berbagi cerita dengan para pelanggannya.
Pengalaman pahit yang pernah dialaminya telah membuatnya menjadi pribadi yang lebih kuat dan tegar. Aleta belajar untuk selalu percaya pada diri sendiri dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi rintangan. Dia juga belajar untuk memaafkan dan bangun dari masa lalunya.
Aleta dan Revan selalu bersyukur atas kebahagiaan yang mereka miliki. Mereka tahu bahwa cinta dan kesetiaan adalah kunci utama dalam membangun kehidupan yang harmonis dan penuh kasih sayang.