Masukan nama pengguna
Anak perempuan itu terkurung layu dibalik kaca mobil. Melihat bayangannya sendiri hancur lebur didepan mata. Dua sungai mengalir deras dari matanya yang melotot dingin. Betapa hancur hatinya saat melihat kembarannya terbaring lemas tak berdaya di aspal berhias darah. Orangtuanya adalah sumber petaka ini.
Dua anak polos itu tidak tahu apa yang dipermasalahkan. Mengapa sang ayah membawa Ira pergi sedangkan Ari tidak. Ari tak terima, wajahnya memerah kemudian menggigit cengkraman ibunya. Ari berusaha mengejar adiknya yang dibawa pergi oleh monster bernama ‘ayah’.
Anak itu berlari seperti kijang. Kerikil yang bertebaran di jalan akan ia terjang, tak peduli serapuh apa kaki mungilnya. Matanya hanya terfokus pada satu titik, tanpa sadar memasuki jalan raya. Ia juga tak menyadari bahwa maut dengan cepat datang tak diundang. Dengan berani menginjak aspal tanpa waspada. Tubuhnya nahas tertikam sebuah truk.
Ini semua terjadi karena ayah dan ibunya yang gemar porak poranda. Dekorasi rumah yang seperti kapal pecah terlihat sudah biasa. Suasana rumah ini seperti kandang ayam, gaduh tiap harinya.
***
Matahari sudah lama berganti. Sang ayah pulang disambut dengan celoteh istrinya. Dua orang tua itu memang tidak kenal waktu. Mulailah mereka saling cekcok. Berlomba menjadi yang si paling benar.
"Baru pulang kau? Kenapa kau tidak menginap saja dirumah wanita jalang itu!"
"Ngomong apa kau ini. Aku lelah banting tulang demi kalian. Aku tidak mungkin ingkar pada keluarga."
"Kau selalu saja menyangkut pautkan kata 'keluarga' demi menutupi masalah. Kata kata mu sangat ampas."
"Rasa cemburu mu telah merebut akal sehat mu, kau bukan lagi bidadari yang ku kenal."
"Itu karena kau mencampakkan ku!"
"Ah sudahlah aku lelah, percuma saja aku mengeringkan lidah ku. Jika keberadaan ku merusak tidur cantik mu lebih baik aku tidur di hotel saja malam ini."
Sang ayah beranjak pergi dari rumah dan menutup pintu dengan kencang. Suara hantaman pintu bagaikan suara petir yang menggelegar di suasana ruangan yang mendung. Rumah ini bagaikan singgahan sementara sang ayah. Ia tak rela membiarkannya beranjak pergi. Namun apalah daya telah dibutakan rasa cemburu. Sang ibu yang telah selesai beradu domba itu berbalik dan hendak ingin ke kamar. Dengan wajah masam yang bermakna sejuta perkara. Tanpa disadari dua buah hatinya sudah menyaksikan semuanya.
Ira sempat memanggilnya, namun tak di gubris sama sekali. Sang ibu acuh tak acuh kemudian lekas masuk ke kamar dengan lesu. Sahutan sang buah hati tak mampu menusuk telinganya. Seolah olah akal sehatnya sudah di ambang kehancuran. Ari mengajak Ira untuk kembali tidur, ia sudah tak peduli dengan apa yang dilakukan dua orang tua bodoh itu.
Mereka memulai perundingan di balik selimut. Saling teringat akan sebingkai foto pernikahan yang sudah terlihat usang terselimuti debu. Pangeran tampan yang bersanding bersama belahan jiwanya, seakan dunia hanya milik berdua. Gaun indah nan megah ibunya bak seoranng putri yang bertemu cinta sejatinya. Bertanya tanya apakah sang ayah benar benar cinta sejati ibunya.
Hari demi hari berlalu seperti biasanya. Kericuhan yang terjadi sudah menjadi tradisi di rumah ini. Namun, hari ini berbeda. Perang antara dua orang tua itu berangsur singkat dari biasanya. Ibu tiba tiba memasuki kamar dua buah hatinya. Terlihat sebuah sebuah jejak telapak tangan kemerahan membekas di pipi kirinya.
"Ira, kemasi barang barang mu. Ayah sudah menunggu di mobil". Ucap ibu tersenyum sambil berlinang air mata.
"Apakah Ira akan pergi? Apakah Ari juga ikut". Tanya Ari penasaran
Tidak". Jawab ibu sambil mengemasi barang.
"Ada apa ibu?" Ari bertanya lagi
"..."
Namun kali ini ibu tak berkutik sama sekali. Ari tetap memaksa ibunya untuk membuka mulut demi sepatah kata jawaban darinya. Ia tetap bertanya meskipun ia tahu jawabannya tak akan berbeda dari sebelumnya. Sang ibu malas menjawab, mulutnya seperti memendam kata kata yang menyakitkan. Baginya ini adalah konflik orang dewasa. Anak sekecil itu tak akan paham dengan apa yang terjadi.
Sebegitu susahnya menjawab sebuah pertanyaan saja. Hal itu membuat Ari kesal, mulut cerewetnya mulai aktif. Sejuta pertanyaan dan omelan dilampiaskan pada ibunya. Apalah daya sejuta celotehan itu tak membuahkan hasil.
Ayah ibunya bercerai dan membagi hak asuh anak. Hancur sudah silsilah keluarga ini. Ikatan cinta antara suami istri tersebut sudah terputus. Janji suci yang di ucapkan saat pernikahan hanyalah omong kosong belaka.
***
Sang ayah menarik Ira untuk segera memasuki mobil. Ia sudah tak sudi menginjakkan kaki di rumah ini. Ira adalah anak yang penurut, berbeda dengan Ari yang lebih keras kepala. Semenjak tadi Ari selalu cerewet, menghina hina ayahnya yang jahat berkali kali. Sang ayah mengunci telinganya, berpura pura tuli dengan apa yang didengar. Ari makin kesal kemudian menggigit tangan ayahnya yang sedang mencengkram Ira.
"Dasar keparat! Apa kau tidak pernah diajarkan sopan santun oleh ibumu! Kau sama saja gelataknya dengan ibumu." Teriak ayahnya.
Lontaran ‘gelatak’ bisa diartikan dengan orang yang memiliki sejuta mulut alias cerewet. Mungkin itulah alasan sang ayah lebih memilih Ira ketimbang Ari. Dikarenakan Ari mirip dengan orang yang paling dibenci yaitu ibunya. Ceplas ceplos dan sembrono pikirnya.
“Jaga omongan mu. Kaulah yang bersalah karena sering main mata dengan si jalang itu. Jangan kau jadikan Ari sebagai domba hitam.”
Mendengar kata kata pahit yang dilontarkan kepada anakya, membuat sang ibu turun tangan. Ia menegaskan kepada kedua buah hatinya untuk tidak ikut campur dalam urusan orang dewasa. Orang dewasa bukanlah lawan yang tepat untuk beradu dengan anak sekecil itu.
Ibunya langsung memisahkan Ari, memeganginya yang sedang seperti anjing buas yang kelaparan. Ari terheran dengan sikap ibunya yang pasrah dan diam saja. Apakah tamparan di pipi membuat mulutnya tersumbat bisu tak berani lagi berkutik. Padahal dulunya gagah berani berkelahi dengan mulut tajamnya.
Ira memasuki mobil dengan gelisah. Tangisan Ari pecah, jeritannya melengking di telinga. Mobilnya baru saja berjalan beberapa meter. Ira melihat dari kaca belakang, melihat Ari yang berusaha merebutnya kembali apa yang menjadi bagian dari dirinya. Melihat Ari yang sedang berjuang, Ira memaksa ayahnya untuk kembali. Percuma saja, sang ayah sudah terbakar emosi yang membara.
Ira berteriak menyebut nama Ari dengan suara lantang. Tubuh mungil lemahnya yang selalu memberontak membuat sang ayah muak.
"Ira diam!"
Sang ayah membentak, suaranya menggelegar dalam mobil seperti raungan hewan buas. Ira tak peduli, dia tidak mau mendengarkan orang lain selain Ari. Ira terus berkoar koar meskipun tenggorokannya pecah ia takkan berhenti.
"Ari !"
Ira memanggilnya, namun kali ini berbeda. Ira hanya memanggilnya sekali dengan nada yang berbeda. Tercengang. Tatapannya kosong namun sebenarnya penuh isi. Ira menangis sekecang kencangnya. Iya tak lagi memanggil nama saudarinya. Sontak sang ayah rem dadakan kemudian menoleh kearah yang dilihat Ira. Segerombolan orang meramaikan jalan. Ditengah gerombolan itu terbaring malaikat kecil berlumur darah yang sedang tertidur di pelukan ibunya.