Masukan nama pengguna
Tidak ada kata yang terucap sebagai kesepakatan bahwa semua itu bisa dimulai.
Tyas sama sekali tak pernah menyangka bahwa segala tingkah—yang dia pikir—menyebalkan darinya, akan diterima secara cuma-cuma oleh Yuna. Mereka tanpa sadar, menjadi sangat dekat di belakang semua orang.
Tidak pernah ada kesepakatan.
Tidak pernah ada kata yang terucap dengan jelas.
Yuna juga tak tahu mengapa ia membiarkannya. Ia sangat ingat ketika mereka berkumpul saat acara nonton bersama di malam tahun baru, ia membiarkan tangannya digenggam oleh Tyas dalam gelap. Mereka hanya saling melirik, namun sama sekali tak melepaskan genggaman itu.
Dalam berbagai pertemuan setiap kali grup mereka berkumpul, keduanya memang dekat, memang selalu bersama, namun ... mereka tidak seintens itu. Yuna terbiasa dengan tingkah menyebalkan kawan-kawannya yang suka merangkul atau memainkan rambutnya, namun Tyas bukanlah tipe pemuda yang seperti itu.
Tyas tahu, Yuna selalu membalas tingkah-tingkah menyebalkan kawan-kawannya dengan umpatan atau pukulan, namun ... Yuna tak melakukan itu padanya.
Hari itu, tiba-tiba saja seluruh desa mengalami padam listrik hingga mereka memutuskan untuk berkumpul di rumah Tyas yang biasa dijadikan markas berkumpul demi menghapus rasa bosan. Yuna baru datang ketika mendapatkan pesan bahwa mereka akan melakukan bakar-bakar jagung, untuk menghabiskan jajanan sisa bahan tahun baru kemarin.
Gadis itu datang sambil cengengesan karena ejekan Runi yang berkata bahwa ia datang hanya demi makanan. "Ya sapa yang nolak makanan gratis?" gumamnya lantas mendudukkan diri di sebelah Tyas.
Pemuda itu tahu kedatangannya, namun ia memutuskan untuk tetap sibuk membakar jagung saja tanpa menyapanya. Pikirannya sedikit kacau karena kini, ia sama sekali tak mampu menolak seluruh kode—yang sengaja atau tidak—dari Yuna.
Mereka tak banyak bertukar pesan, namun tiap kali Yuna berkata dia lapar, Tyas akan mengajaknya makan bersama. Tiap kali Yuna bosan, Tyas akan menawarkan diri untuk mengajaknya jalan-jalan.
Mereka tak pernah sepenuhnya jalan berdua saja, namun sekalipun keduanya pergi beramai-ramai. Baik Yuna atau pun Tyas, selalu punya cara untuk saling menyentuh.
Kita bahkan tak pacaran.
Aku bahkan tak tahu dia menyukaiku atau tidak.
Itu yang ada di benak Tyas tiap kali ia menyadari Yuna membiarkan ia bertindak seenaknya. Dalam senyap, tak jarang tangan jahilnya memainkan helaian rambut panjang Yuna, dan gadis itu tidak menolaknya sama sekali. Terkadang, ia sengaja mengaitkan jari kelingking mereka, dan tidak ada reaksi apa pun dari Yuna.
Sejauh yang Tyas ingat, Yuna bukanlah tipe gadis yang suka disentuh oleh sembarangan pria.
Ia ingin berpikir bahwa Yuna mungkin menyukainya, tapi semua itu terasa mustahil.
Lagi pula, Tyas pun tak ingin mereka putus pertemanan hanya karena sebuah rasa menyebalkan ini.
"Gosong masnya~" tegur Yuna membuat Tyas terperanjat kaget.
"Wanjing!"
"Mata kau anjing!" kesal gadis itu menanggapi respons menyebalkan Tyas.
Pemuda itu terkekeh, mengabaikan rasa gugup yang tanpa sadar menyerang jantungnya. "Kam kipasin saja deh Na, aku yang bakar."
"Dih?!" Yuna lebih dulu mengambil jagung di genggamannya, yang secara tak langsung memaksa Tyas untuk mengambil bagian jadi tukang kipas.
Di sekeliling mereka, Runi sibuk curhat tentang ibunya yang cerewat dan disusul oleh respons anak-anak lain tentang tingkah-tingkah orang tua mereka. Lagu diputar menggunakan playlist yang dibuat oleh Yuna, kebanyakan lagu berbahasa inggris yang tak banyak mereka ketahui, dan Yuna tak mau menerima jenis protes apa pun.
"Jagungnya cuma segini?" tanya Yuna pada Tyas, enggan mendengarkah obrolan di sekeliling mereka.
"Iyap," balas pemuda itu pelan. Ia lalu menatap sekelilingnya, "Kurang ya keknya?"
"Apanya?" balas salah satu kawan mereka.
"Jagung," gumam Yuna. "Ada yang mau beli lagi gak? Beli minuman sekalian atau apa kah?"
"Aku saja yang beli," ujar salah satu kawan mereka dan seketika obrolan berubah menjadi tentang bahan-bahan baru yang harus dibeli.
Tak butuh waktu lama untuk mereka beranjak pergi dari teras rumah Tyas, beberapa pergi untuk membeli tambahan sosis dan jagung, ada yang membeli arang tambahan, dan juga pergi untuk membeli minuman.
Lalu tiba-tiba saja, tempat itu hanya menyisakan Yuna dan Tyas.
Lagu dari Arctic Monkey berjudul Are You Mine terputar dari ponsel Yuna saat gadis itu sedang sibuk mengolesi jagung dengan mentega, lalu kembali di depan pembakaran. Tyas menelan saliva, ia tahu lagu ini, di angkatan mereka, hanya ada dirinya, Rina, dan Yuna yang lumayan fasih berbahaya inggris karena pernah mengambil kursus yang sama di masa lalu.
Tak mungkin ini kode kan? pikir Tyas. Ia mencoba mengatur napasnya, entah mengapa kini jantungnya berdetak tak karuan, padahal ini bukan kali pertama mereka ditinggal berduaan.
Yuna menyenandungkan lagu Are You Mine dengan sangat lembut selagi tangannya sibuk membakar jagung, Tyas sendiri masih dilanda kebingungan atas isi otaknya sendiri. Apa ia perlu mengatakan segala hal yang ada di otaknya dan merusak gaya pertemanan mereka, atau malah ia harus membiarkan segala tanya itu menguap tanpa jawaban?
Mereka sudah berteman sejak masih belia, ia tahu berbagai sikap Yuna dalam berteman, ia paham ketika gadis itu marah atau pun terharu. Namun, Tyas tak pernah menghadapi situasi seperti ini. Ia tak pernah tahu dengan jelas perasaan gadis ini padanya, ia tak pernah suka pada kawannya sendiri selama ini.
Apa aku menyukainya ya? batinnya tanpa sadar.
"Na," tegurnya membuat Yuna menoleh ke arahnya. Wajah mereka cukup dekat karena duduk bersampingan, Tyas mencoba mengabaikan tangan gatalnya yang ingin sekali menyentuh wajah gadis itu. Gas lah! pikirnya dalam hati sebelum kembali membuka suara.
"Why do you never get angry every time I touch you?"
"Oh ..." gumam gadis itu lalu kembali fokus pada jagung bakarannya. "That's not a big deal for me. Tangan kau tu sopan Yas," balasnya membuat Tyas terbahak.
Ia lalu menoleh menatap Yuna, memerhatikan ekspresi tenang dari gadis itu. "Tapi kayaknya, mending kau marah deh Na. Kayak responsmu biasanya kalo ke yang lain."
"Why?" tanya gadis itu balik menatapnya.
Tyas menahan senyuman, entah mengapa, ia merasa ini adalah saat yang tepat untuk mengatakannya. "I think I will get addicted if you're like that."
"What you gonna do if you get addicted tho?"
"I become impolite?" gumamnya malah membuat Yuna terbahak.
Iris mata gadis itu kini berubah serius, seringai tipis menghiasi wajahnya selagi ia berujar tanpa ragu. "Then, be the impolite person for me."
Tyas menahan napas, lantas membuang muka sambil tertawa mendengar kalimat tersebut. "Fuck," gumamnya tanpa sadar, lalu kembali menatap ke arah Yuna. "So, are you mine huh?"
Yuna terkekeh, tidak menyangka bahwa malam ini akan mengubah hubungan mereka menjadi sesuatu yang jauh lebih menarik dibandingkan sebelumnya. "Secretly ... yes."