Cerpen
Disukai
0
Dilihat
12,384
Andai Aku Tak Jatuh Cinta
Drama

Hilir mudik mobil dan motor membuat jalanan cukup padat. Di bawah panas matahari yang belum begitu terik, beberapa orang berjalan di tepi jalan dimana ada banyak toko berjajar. Seorang gadis berambut pendek dengan celemek biru tua yang melindungi kemeja hitam polos yang dikenakannya, sedang membalikkan lambang "Tutup" di pintu sebuah kedai kopi kecil yang berada di salah satu ruko pertokoan yang ada di sana menjadi "Buka". 

Gadis itu tersenyum kecil sebelum kembali ke meja bar. Wewangian khas dari biji kopi yang menenangkan menyebar ke seluruh penjuru kedai. Gadis itu telah menyiapkan segalanya, dan kini dia bersiap untuk menyambut pengunjungnya. Saat mendengar suara pintu kedainya terbuka, sang gadis hampir mengucapkan sapaan ketika dia melihat siapa yang masuk ke kedainya.

"Aku pelanggan pertamamu, kan, Hana?"

Sang gadis yang dipanggil Hana itu tersenyum kecil. "Tentu saja. Hanya kau satu-satunya orang yang setiap hari selalu datang tepat waktu saat kedai kopiku baru buka, Erna."

Erna, sang pengunjung pertama, hanya terkekeh ringan. Dia mendudukkan dirinya di salah satu kursi yang ada di bagian bar, berhadapan dengan Hana yang berdiri di dekat mesin kopi.

"Cappucino hangat seperti biasanya?" tanya Hana. Erna mengangguk kecil sebagai jawaban. Melihatnya, Hana langsung berfokus membuat pesanan itu untuk pelanggan setianya sekaligus sahabatnya.

"Bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Erna ketika Hana meletakkan segelas cappucino di hadapannya.

"Yah, seperti biasanya," balas Hana singkat. Pintu kedainya kembali terbuka dan Hana disibukkan oleh pengunjung lain yang rupanya adalah pasangan muda-mudi yang terlihat seperti tengah menebarkan aura kebahagiaan mereka di pagi hari.

"Kau tak ingin mencari pasangan?" celetuk Erna setelah dua orang tadi berpindah tempat di salah satu meja yang ada di tengah kedai usai memesan.

"Aku tak lagi ingin berurusan dengan hal semacam itu," elak Hana.

"Oh ayolah, kau tak kesepian? Tidak iri melihat pasangan tadi?" 

"Untuk apa aku iri dengan mereka? Aku sudah cukup nyaman dengan kehidupanku saat ini. Toh, kau pun sudah cukup untuk menemanku."

"Bagaimana kalau kuatur acara perkenalan dengan temanku seperti yang kukatakan kemarin—"

"Erna."

Erna langsung menutup mulutnya ketika namanya dipanggil oleh Hana dengan nada tegas. Diseruputnya sedikit minumannya, kemudian ia menghela napas. 

"Maafkan aku, Hana. Aku hanya tak ingin dirimu terus begini. Akupun juga tak bisa selalu menemanimu ...."

Hana mengatupkan mulutnya, tak merespons perkataan Erna sedikitpun. Ia pun pergi sejenak untuk mengantarkan pesanan ke pelanggan sebelumnya.

"Erna, aku sudah tak ada keinginan untuk menjalin hubungan romantis atau bahkan sekadar menambah tali persahabatan seperti itu," ujar Hana sekembalinya mengantar pesanan pelanggan. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis. "Kau pun tahu alasanku, Erna ...."

Erna mendesah pelan. Diperhatikannya pakaian serba hitam yang dikenakan Hana di balik celemek biru tuanya. "Sudah tiga tahun berlalu, ya ...?" tanya Erna, setengah bergumam.

Hana hanya terdiam sembari menuangkan biji kopi ke gilingan, senyuman sedih terpatri di bibir tipisnya. Melihatnya, Erna hanya bisa ikut tersenyum tipis.

Setelah menghabiskan kopinya, Erna beranjak dari kursinya dan bersiap untuk pergi. Namun, Erna memandang sahabatnya sejak SMA itu lekat-lekat.

"Hana, kau bisa datang ke rumahku nanti malam. Kau tahu aku akan berusaha untuk tetap berada di sisimu apapun yang terjadi, bukan?"

Untuk sepersekian detik, senyuman Hana sedikit turun. Namun, seketika bibir tipisnya itu kembali menyunggikan senyuman. Senyuman lebar yang telihat sedikit dipaksakan. "Terima kasih, Erna," ucapnya.

~•~

Semburat jingga di ufuk barat menyadarkan Hana dari lamunannya. Diedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kedai yang hampir tak ada pengunjung. Perkataan Erna tadi pagi terlintas di pikiran Hana.

"Sudah tiga tahun berlalu, ya ...?"

"Yah, hari ini tepat tiga tahunnya ...."

Helaan napas kecil keluar dari bibir Hana. Ia keluar dari meja bar sembari membawa alat pembersih. Satu persatu meja pengunjung ia bersihkan hingga mengkilap dan disapunya lantai kedai hingga bersih. Hal yang sama ia lakukan di bagian dapur kedai kopinya.

Selagi membersihkan sisa-sisa kopi yang berserakan, Hana mengenang kembali masa-masa lalunya, masa dimana ia pertama kali mengenal seseorang yang membuatnya merasakan apa yang dinamakan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Sekaligus apa yang terjadi pada hari itu, tepat tiga tahun yang lalu, hingga mengubah keputusannya untuk tak ingin lagi berhubungan lebih dekat dengan orang lain. 

“Kau baik-baik saja?”

“Panggil saja Arvin.”

“Kau tak perlu melakukannya kalau tak suka.”

“Jangan sekali-kali kau mengganggu Hana lagi.”

“Selamat tinggal ….”

Hana seketika menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Berhentilah bersikap melankolis, Hana. Setidaknya, untuk saat ini,” gumamnya lirih. 

Setelah menuntaskan pekerjaan bebersihnya, Hana segera melepas celemek biru tuanya dan sedikit merapikan kemeja hitamnya. Diambilnya tas kecil miliknya beserta kunci sepeda motornya dari rak bawah dan segera keluar dari kedai kopi miliknya. Tak lupa, ia membalik papan pintu menjadi “Tutup” dan menuliskan keterangan jika kedai tutup lebih awal. Setelahnya, Hana segera menancap gas dan pergi menjauh dari kedainya. 

Selang beberapa menit, Hana menghentikan sepeda motornya di sebuah tempat yang teramat sepi. Tempat itu terlihat seperti tanah lapang yang lumayan luas dengan petak-petak batu yang tersusun rapi. Suasana yang sunyi membuat Hana mengeratkan pegangannya pada keranjang bunga yang ia beli saat perjalanannya kemari. Kenangan-kenangan lama yang ia simpan rapat-rapat kembali menyeruak di pikirannya. 

Aku mencintaimu, Hana Faiza.”

“Jika kau memiliki masalah, ceritakanlah padaku. Kita bisa menghadapinya bersama.”

“Hana, semuanya telah usai. Kini waktunya untukmu bebas tumbuh menjadi bunga yang lebih indah lagi. Maaf, aku hanya bisa menemanimu sampai sini ….”

Hana menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Perlahan namun pasti, Hana melangkahkan kakinya di tanah setapak diantara batu-batu nisan. Tak butuh waktu lama bagi Hana sampai di tempat yang ditujunya, sebuah batu nisan berukiran nama “Arvin Saputra” yang menandakan sang pemilik nama telah terkubur di bawah gundukan tanah itu. Hana membersihkan gundukan yang merupakan makam itu dari dedaunan kering di atasnya, kemudian berdoa selama beberapa menit dan menebarkan bunga di atas makam tersebut.

“Arvin, sudah lama aku tak kemari, ya,” ucapnya lirih. Hana tak yakin saat ini ia tengah berbicara dengan siapa, tetapi ini hampir seperti kebiasaannya tiap kali datang kemari. 

“Tiga tahun berlalu sejak kejadian itu …,” Hana berjongkok, sebelah tangannya mengelus lembut batu nisan itu. “… Namun, bagiku rasanya masih seperti kemarin.”

Senyuman kecut tersungging di bibir Hana, ekspresinya yang sebelumnya terlihat datar pun kini berubah pilu. “Kau tahu, kini aku memutuskan untuk tak jatuh cinta pada siapapun lagi. Aku takut jika diriku mencintai orang lain … orang itu akan mengalami takdir yang buruk karenaku.”

“Kupikir, saat itu aku sudah menuntaskan semua masalah dengan keluargaku dan lepas dari mereka, sehingga aku memiliki keberanian untuk menerima pernyataanmu kala itu. Namun, pemikiranku salah dan ….” 

Suara Hana tercekat. Matanya mulai memerah, tetapi tak ada setetes air mata pun jatuh. 

“Maafkan aku … Seandainya saat itu aku tak menerima bantuanmu, mungkin kita takkan menjadi dekat dan menyukai satu sama lain. Seandainya aku tak jatuh cinta padamu, mungkin kau setidaknya masih ada di sini, mewujudkan keinginanmu menjadi barista dan membuka usaha kedai kopi ….” 

Sejenak, Hana menarik napas panjang. Wajahnya pilu, hidung dan matanya pun memerah. Namun hingga detik ini, tak ada sedikitpun air mata yang menetes. Seakan air matanya telah mengering hingga tak lagi bisa meneteskan air matanya. Perlahan, Hana berdiri dan menepuk-nepuk celana hitamnya yang sedikit kotor dengan tanah. Manik mata kecokelatannya masih terpaku pada batu nisan itu dengan perasaan campur aduk. 

“Arvin … Kau bilang, kini aku bisa menjadi bunga cantik yang bebas bermekaran. Meskipun ketakutanku untuk jatuh cinta masih membayangi, tetapi kuputuskan untuk bahagia dengan caraku sendiri, dengan mewujudkan impianmu yang tak bisa kau gapai.”

Lagi-lagi, Hana menyunggingkan senyumnya. Kali ini bukanlah senyuman kecil maupun senyum miris, tetapi senyuman penuh ketulusan dari hati Hana.

“Sampai jumpa kembali, Arvin Saputra, cinta pertama dan terakhirku.”


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)