Masukan nama pengguna
"Kamu percaya jodoh?"
Itu pertanyaanku beberapa tahun silam, saat kita berada di atas jembatan layang saat menuju pulang, arah Bandung-Garut.
Sore itu kita menatap senja yang selalu kita kagumi, senja yang selalu memberi kita insfirasi, senja yang selalu membuat kita lebih berani menantang dunia, juga menantang takdir.
"Jangan bertanya tentang hal yang sudah kamu tahu, kamu akan terkesan seperti orang bodoh," hari itu kekehannya membuatku tergelak.
Tangan kami saling bertaut, kala itu kami adalah insan yang tidak bisa di pisahkan satu sama lain. Tersenyum syahdu, dengan semburat senja yang menerpa wajah kami.
"Kadang, kami kaum perempuan terus bertanya bukan karena kami tidak tahu jawabannya, tapi karena kami ingin terus memastikan, jika jawaban kalian para lelaki tidak berubah," tatapanku kembali menerawang ke atas sana, ada sedikit rasa khawatir di hatiku.
"Mencintaimu adalah harga mati bagiku, sekarang, besok dan selamanya kamu tetaplah cinta sejatiku, rintangan apapun yang akan terjadi di depan sana, kamu tetaplah di sampingku, kamu tetaplah milikku, aku akan tetap mempertahankan kamu, aku akan tetap berjuang untuk hubungan kita selamanya," rematan tangannya di jemariku semakin kuat.
"Yakin??" aku meliriknya dengan ekor mataku, lalu ku rasakan hembusan angin dari kendaraan yang terus berlalu lalang, suara adzan maghrib mulai terdengar, aku menatapnya dalam.
"Yakin." Dia mengangguk, tersenyum lembut, menuntunku menuju motor bebek inventaris kantor, untuk menuju masjid terdekat dari sana. Kami akan melakukan shalat berjamaah, dan keadaan itu, adalah keadaan paling menyenangkan yang pernah aku rasakan, selama bersamanya. Dia memanjatkan doa-doa baik untuk kita, dan aku mengaminkannya. Selepas shalat dia tersenyum lembut dengan air wudhu yang masih menetes di wajahnya. Dia tampan, juga bersinar. Aku mencintainya, untuk pertama kalinya.
***
"Kenapa kamu pulang sama dia lagi???" lengkingan suara Ibu terdengar menggema, bahkan masih di hadapannya.
"Memangnya kenapa Bu?" aku menundukkan kepala, meliriknya sekilas yang sama-sama tengah menunduk.
"Kamu sadar dia siapa?? Dia itu playboy!! Dia di hukum jadi seorang OB dari seorang manager, karena dia ketahuan meniduri salah satu karyawannya! Sadar kamu!! Dia gak pantes bersanding sama kamu!!" Suara Ibu menggema di mana-mana.
"Bu, apa yang kita dengar, belum tentu kebenarannya, lagian Faisal bilang semua gosip yang beredar itu hanya gosip belaka," aku mengelak, lagi.
"Sadar kamu!! Buka mata kamu lebar-lebar! Dia bukan laki-laki baik!!" Ibu menghentakkan kakinya, lalu berlalu meninggalkan kami.
Suasana hening, terdengar helaan napas dari kami berdua, ujian ini terasa berat, satu tahun hubungan kami tidak kunjung mendapat restu Ibu, dengan alasan dia bukan pria baik. Padahal yang aku tahu, dia sudah berupaya untuk mengubah masa lalunya.
"Sabar ya," aku tersenyum, menguatkan hatinya.
Dia mengangguk membalas senyumanku.
Begitulah kami, selalu saling menguatkan.
Saling membantu dan saling mendukung, apapun yang terjadi.
***
"Kamu harusnya sadar siapa dia."
"Iya pak, saya tahu persis, dia adalah pria yang sedang berusaha memperbaiki dirinya, saya yakin jika Bapak mau membantu kembali menaikkan jabatannya, Bapak tidak akan menyesal dengan kinerjanya, saya sendiri yang akan membantunya nanti," aku masih berusaha meyakinkan Direktur perusahaan agar mau kembali menerima pria yang aku cintai untuk kembali menduduki posisi awalnya.
"Apa jaminannya kalau dia akan bekerja lebih baik lagi??" Direktur memicingkan matanya, menelisik diriku yang di balut kaku.
"Saya sendiri jaminannya," jawabku mantap, yakin, seyakin aku mencintainya.
Terdengar helaan napas berat, namun tak urung pria berusia tiga puluh lima tahun itu tetap menjawab.
"Baiklah, saya percaya kinerjamu, bantu dia untuk tetap memperbaiki diri, jika hal sebelumnya terulang kembali, maka jangan salahkan saya untuk memecat dia, juga kamu," ucapnya dingin.
Sedikit terjingkat kaget, tapi aku menganggukan kepala tanda setuju.
"Mi!"
Aku menoleh, kala suara itu kembali terdengar memanggilku.
"Cinta tidak pernah senaif itu Mi, saya harap kamu sadar akan hal itu," dia menatapku, dengan tatapan yang sulit di artikan.
"Saya tahu Pak, tapi cinta saya untuknya tidak pernah naif, mungkin hanya sedikit bodoh, tapi saya begitu menikmati kebodohan ini," aku tersenyum tipis, segera beranjak membuka pintu, meninggalkan ruangan Direktur.
***
"Bu, gimana?? Ibu sukses bujuk Direktur?" Reni, bawahanku heboh mendekatiku.
"Sukses! Dia akan kembali menempati posisinya," aku tersenyum bangga.
"Ibu memang hebat! Makasih ya Bu," Reni memelukku erat.
"Makasih?? Buat apa??" ku kerutkan keningku dalam.
"Makasih Ibu udah mau bantuin saya selama ini," ucapnya sedikit terjingkat kaget.
"Bantuin apa??" aku semakin heran.
"Bantuin kerjaan saya, sebagai anak baru di sini, bantuan dan bimbingan Ibu, sangat berarti untuk saya," ucapnya gugup, aku tersenyum lembut.
"Sama-sama, yuk kerja lagi." Reni tersenyum dan mengangguk, lalu kami kembali mengerjakan pekerjaan kami masing-masing.
***
"Mau sampai kapan kamu begini?!! Ingat! Usiamu sudah tidak muda lagi! Kalau si Faisal itu memang sungguh-sungguh sama kamu, harusnya dia sudah nikahin kamu dari dulu!!" suara Ibu kembali menggema.
"Sabar Bu, beri kami waktu" hanya kata itu yang bisa aku ucapkan.
"Lima tahun!! Kamu pikir itu waktu yang singkat??" seringai Ibu.
"Mungkin belum saatnya Bu."
"Lalu kapan saatnya??"
"Sabar ya Bu."
"Terserah kamu saja!!"
Aku menghela napas berat, lima tahun berlalu, namun hububganku dengannya kian asing, terasa banyak yang berubah, tapi ... Aku pun tidak tahu apa.
Dia satu-satunya pria yang membuatku nyaman, dan nyambung ketika berkomunikasi. Hidup bersama Ayah sang genius dan Ibu yang super pintar, membuatku di tuntut untuk bisa mengimbangi pola pikir mereka, hingga dalam keseharianku, seringkali aku merasa kelimpungan menghadapi orang-orang yang ku rasa tidak nyambung ketika sekedar ngobrol denganku, maksud hati menyampaikan A, tapi oranglain menanggapi B. Tapi bersama pria itu, aku merasa begitu nyaman, dia pria pertama yang aku cintai setelah Ayah.
***
"Kenapa kamu mengundurkan diri?? Jabatanmu begitu bagus di kantor ini, kariermu cemerlang, gajimu juga lumayan," tanya Direktur saat aku memberikan surat pengunduran diriku.
"Saya hanya ingin istirahat Pak," kilahku.
"Istirahat?? Apa kamu perlu cuti? Saya bisa memberikannya, kinerjamu sangat di butuhkan di kantor ini," pria itu masih memaksa, tapi aku kembali menggeleng.
"Tidak Pak, saya mau fokus dulu akan diri saya sendiri, saya butuh waktu untuk memperbaiki diri,"
"Apa yang harus kamu perbaiki?? Kamu perempuan sempurna Mi, apa karena Faisal sekarang sudah sukses? Jadi kamu mau menikah dengannya??"
Aku tersenyum kaku, bukan itu alasannya.
"Ah ... Sudah seharusnya dia membalas segala kebaikanmu."
"Pak, saya mohon, jangan beritahukan apapun padanya."
"Kamu masih senaif sebelumnya Mi."
"Cinta kadang bisa segila itu Pak."
"Ahhhhh ... Terserahmu saja, jika kamu ingin mengundurkan diri sekarang, saya tidak bisa memaksa, namun jika kamu mau kembali ke perusahaan ini, kapanpun kamu mau, pintu kantor ini selalu terbuka untukmu."
"Terimakasih banyak Pak."
***
"Miaaaaaa!!! Lama gak ketemu! Apa kabar??" suara riang milik sahabatku Arini terdengar, aku tersenyum, lalu kami saling berpelukan melepas rindu.
"Aku baik Rin," jawabku, mendaratkan bokong di Kursi kaffe yang kami datangi.
"Kamu kelihatannya happy banget setelah keluar kerja?" Arini menyesap lemon tea miliknya.
"Iya dong, kamu lama banget di pindah tugaskan keluar kota, sampai aku keluar kerja kamu gak tahu," aku memukul bahunya pelan, dia terkekeh.
"Iya, aku sibuk banget Mi."
"Alah, sibuk apaan??"
"Sibuk datangin kondangan orang, haha ... Aku kapan jadi orang yang ngundang mereka ya??" tawa Arini pecah, dia memang sangat ceria.
"Ah, nanti jika sudah waktunya," ucapku, tiba-tiba saja aku teringat akan sosok pria yang sudah menjanjikan tanggal pernikahan padaku, Faisal akhir-akhir ini tidak bisa di hubungi, dia berubah, entah apa yang mengubahnya.
"Eh, lusa aku juga mau datangin kondangan lho, kamu mau ikut??" Arini mengeluarkan sebuah kertas dari dalam tasnya.
"Siapa yang nikah??" tanyaku antusias menerima kertas undangan dari tangan Arini.
"Si Reni, kamu pasti tahu dong, dia kan yang gantiin posisi kamu di kantor, setelah kamu resign." Arini kembali menyesap minumannya.
"O ya?? Aku gak tahu, malah aku gak di undang," ucapku kecewa.
"Dia nikah sama siapa? Padahal di fb, di wa, atau di ig kita berteman lho," aku meraih ponsel, mencari nama Reni, mungkin dia memberikan undangan lewat media sosialnya padaku.
"Loh?? Kok semua medsosku di block Reni??" aku mengerutkan kening.
"Nih, baca! Si Reni nikah sama Faisal! Itu yang manager di kantor cabang yang di luar kota." Arini menyodorkan kembali kartu undangan yang tadi sempat aku abaikan.
"Faisal?? Manager???" aku membulatkan mataku.
"Iya, yang dulu pernah kena kasus pencabulan terhadap karyawaty itu lho, kamu masih inget kan??" Arini menatapku yang masih membisu.
"Mi?? Kamu sakit??" Arini menatap wajahku yang tiba-tiba saja memucat.
Segera kembali ku raih ponselku, aku mencoba membuka semua media sosial Faisal, ternyata aku sudah di blokirnya. Ya Tuhan ... Sakit!!!
Aku membuka media sosial Reni dengan akun lain, terlihat di sana dia mengunggah beberapa poto mesranya bersama Faisal, jauh sebelum aku berhenti bekerja, dan itu artinya aku sudah lama di khianati mereka. Aku yang cuek dengan media sosial, tidak pernah tahu kapan akunku di blokir mereka.
Hatiku hancur, lebur, berkeping-keping.
Reni ... Kamu sahabatku, kamu manusia yang sudah ku anggap sebagai adikku sendiri, kamu tahu persis hubunganku dengan Faisal, kita saling berbagi, saling membantu, dan saling mendukung, inikah balasanmu untukku Ren?
Faisal, kamu cinta pertamaku, aku menentang banyak hal hanya karena ingin menolongmu, mendukungmu, dan membantumu, cinta tulusku ku persembahkan hanya untukmu, lalu ... Inikah balasan yang kamu berikan??
Ini kenyataan yang terlalu menyakitkan. Di mana hati nurani kalian??
Aku memang bodoh, aku memang naif, hatiku yang sederhana selalu mudah menyayangi dan mencintai kalian berdua. Tapi setidaknya tidak bisakah kalian berpamitan padaku dengan cara yang benar?
Aku mencintai dan menyayangi kalian sepenuh hati, terlebih hingga ke nadi.
Aku tidak pernah menyangka, jika dalam hidup manusia, bisa ada hubungan seindah ini, tapi begitu periiiihhhh kala perpisahan harus tanpa ucapan.
Aku tulus mencintai dan menyayangi kalian berdua, kini ... Di manapun kalian berada, aku harap kalian bahagia. Meskipun kehadiran kalian sempat membuatku trauma akan sebuah hubungan juga sebuah persahabatan.
***
"Sekarang, bangun yuk ... Hapus air matamu, jangan berfikiran buruk lagi, pasti sulit, bahkan saya merasakan kesulitan di hidupmu, saya juga merasakan betapa sesaknya dadamu"
Aku tersenyum, menatap pria tampan di hadapanku.
"Terimakasih Kak."
"Sekarang, mana tugasmu?? Tulisan yang aku perintahkan sebelumnya," dia menengadahkan tangannya, aku meraih sebuah kertas dan ponselku.
"Ini ... " aku menyerahkan kedua benda tersebut ke atas tangannya.
"Good, kamu akan cepat sembuh jika penurut seperti ini, ini resep obatmu, jangan lupa di minum secara rutin," dia menyodorkan resep obat, aku menerimanya, meski dengan hati yang enggan.
"Baik Kak."
"Mi, jangan lupa cinta tulus itu ada."
"Aku tahu Kak."
Aku menganggukan kepala berulang kali, menapakkan kaki keluar dari sebuah ruangan Dokter yang selama ini menangani penyakitku.
"Aku tidak apa-apa."
"Aku baik-baik saja."
"Aku kuat."
"Aku bisa!"
Sepanjang perjalanan menuju parkiran, Ku gumamkan kata-kata itu untuk mensugesti fikiran lemahku.
Ruang rindu 26-05-2021
Tulisan ini di tulis oleh tangan yang pernah kamu hempaskan.