Masukan nama pengguna
Aku adalah perempuan gila. Perempuan tidak waras yang mau menukar tubuhnya hanya dengan cinta. Kata mereka, aku wanita bodoh, idiot dan terbelakang. Bisa-bisanya aku menolak lamaran seorang pria kaya di desa ini hanya karena aku jatuh cinta pada laki-laki tidak jelas.
Bagiku, Saleh bukanlah pria yang tak jelas. Dia baik hati, tampan dan punya kepribadian yang membumi. Hanya saja belum rezekinya punya harta. Meski kerja serabutan, berkeliling desa ini untuk menjadi kuli atau berdagang di pasar.
Lalu laki-laki yang melamarku itu bernama Rahmat. Anak pedagang besar di pasar. Kekayaannya melimpah ruah. Katanya, aku tak perlu memikirkan kehidupan keturunanku hingga buyutku kelak. Mereka sudah dipastikan sejahtera. Kekurangannya, Rahmat tidak tampan. Wajahnya itu sungguh biasa-biasa saja.
Mana mungkin aku, sang kembang desa, gadis paling rupawan ini mau menjadi istri seorang pria yang berwajah biasa saja? Wajah Saleh dan Rahmat sungguh tak bisa dibandingkan. Andaikan aku menikah dengan Saleh, anak-anak kami pasti berwajah luar biasa. Sementara Rahmat, melihatnya saja aku sudah tak berselera.
Mamakku itu marah besar saat kutolak pernyataan cinta Rahmat dan membuatnya patah hati. Mamak bilang, sampai mati aku tidak akan mendapat laki-laki seperti Rahmat. Berasal dari keluarga yang terpandang dan kaya. Oh, aku tak mau dianggap perempuan yang memandang lelaki dari harta.
Jika aku dengan Rahmat, mereka pasti bergunjing kalau aku memilihnya karena harta. Tapi jika aku dengan Saleh, mereka akan membicarakan aku adalah wanita terhormat yang setia, mau menemani laki-laki dari tak punya apa-apa. Aku akan dipuji-puji dan nantinya menjadi keluarga terpandang dengan Saleh.
Sialnya, Rahmat berkoar-koar kalau aku menolak cintanya. Laki-laki tak tahu diri itu bicara kesana kemari mengatakan kalau ia sedang patah hati. Hasilnya aku digunjing sebagai perempuan gila tak tahu makna kesempatan. Aku tak habis pikir, siapa yang bodoh ini sebenarnya? Aku atau mereka?
“Aku tak mau menikah kalau bukan dengan Saleh!”
Aku berkata tegas pada Mamak dan Bapakku malam itu. Mamakku berang, dia mengumpat dan bilang aku bodoh. Bapak hanya diam, memang tak punya kuasa jika dibanding dengan Mamak. Aku masuk kamar, mengunci pintu. Hatiku berkata kalau aku sudah melakukan hal yang benar. Aku sedang memperjuangkan cintaku, cinta matiku.
Seminggu kemudian, Saleh datang ke rumahku. Dia datang sendiri, tanpa orangtuanya. Kudengar dia memang yatim piatu, tak tahu asal-usulnya. Saleh memang seorang pendatang di desa kami. Pendatang yang tak jelas asal-usulnya. Dengan berani, Saleh melamarku hari itu.
Bapakku hanya diam mendengarkan, sementara Mamakku, masuk ke dalam bilik kamarnya. Ia tak mau dengar apa kata Saleh. Saat Bapak memanggilnya pun, Mamak masih tak mau bertemu Saleh. Aku meminta Bapak menerima lamarannya, kubilang kalau aku tak keberatan hidup susah selama itu dengan Saleh.
“Aku tidak pernah mendidik kau jadi perempuan bodoh. Saleh itu tidak pantas buat kau!”
“Mamak ini! Mamak benar-benar mata duitan. Semua yang Mamak lihat itu harta saja!” balasku.
“Mamak tak peduli kau tak mau dengan si Rahmat, tapi jangan dengan Saleh! Mamak tak ikhlas!”
Adu mulutku dengan Mamak hari itu berujung dengan Bapakku yang ikut marah. Bapakku bilang, perempuan di rumah ini tak bisa diatur semua. Tapi aku senang karena Bapak bilang padaku kalau itu terserah aku saja. Mau dengan Saleh, silakan.
“Asal kau tak menyesal. Jangan menangis datang pada Bapak dan Mamak,” ucap Bapakku.
“Tidak akan. Aku akan bahagia selamanya. Susah atau senang asal dengan Saleh, aku rela.”
“Memang cinta itu buat bodoh. Kotoran juga dikira enak,” ejek Mamak.
Aku tak peduli. Terserah Mamak mau bilang apa. Pernikahanku dengan Saleh berlangsung sederhana. Sesuai mimpiku. Dua manusia berwajah rupawan bersatu diikat tali pernikahan. Aku bisa melihat wajah iri Rahmat pada Saleh saat ia memberi selamat pada kami.
Hari itu, kami menjadi raja dan ratu sehari. Bisa kubayangkan setiap hari kupandangi wajah Saleh yang tampan itu. Kelak, anak-anak kami pasti tampan dan cantik. Semua orang memberi selamat pada kami dengan wajah yang berbeda-beda. Ada yang nampak iri macam Rahmat, ada yang nampak berpikir kalau aku ini perempuan gila.
Satu, dua bulan berlalu dan hidupku seperti mimpi. Segalanya menyenangkan, sesuai ekspektasi. Walau uang yang Saleh dapat tak tentu. Kadang cukup kadang tidak, tapi kami senang-senang saja. Hingga hari dimana aku tak ingin makan. Segala bentuk makanan membuatku mual. Sampai akhirnya aku tahu kalau aku sedang mengandung.
“Aku hamil!” ucapku dengan penuh semangat saat mengabari Saleh.
Bukan kebahagiaan dan perasaan terharu yang kudapat dari Saleh. Laki-laki itu malah berwajah masam saat menerima kabar baik itu. Raut wajah yang tak kuduga muncul darinya.
“Siapa yang mau urus bayi itu? Kau tidak tahu kalau kita tidak punya duit?! Gugurkan saja!”
Ucapannya itu bagai petir di telingaku. Bagaimana mungkin aku menggugurkan bayi tak berdosa ini? Bayi ini adalah apa yang kutunggu dari pernikahan kami. Membayangkan bayi kami yang memiliki rupa indah adalah penyemangatku setiap hari.
Lalu esoknya, Saleh pergi dan tak kembali. Berhari-hari kunantikan dia pulang ke rumah kami yang tak lebih bagus dari sebuah gubuk. Lantainya juga masih tanah. Gubuk yang kukira akan menjadi tempat indah itu kini jadi kumuh bagiku.
Seminggu, dua minggu, lalu berubah menjadi satu bulan. Suamiku itu tak kunjung pulang. Aku tak tahu dimana pikirannya. Dia tidak memberiku nafkah. Jangankan nafkah, batang hidungnya saja tak kunjung terlihat. Aku makan dengan iba dari tetangga.
Ragu rasanya untuk pulang, karena dulu aku berkata dengan bangga pada Mamak dan Bapak kalau aku akan hidup bahagia dengan Saleh. Tapi jika tidak pulang, aku tidak bisa makan. Walau malu, aku pulang ke rumah orangtuaku, meninggalkan gubuk itu dengan kondisi perut mulai membuncit.
Sesuai dugaan, Mamak mengamuk dan mengusirku. Untungnya, Bapak masih ada untukku. Bapak menahan Mamak agar tak memukuliku dan menyuruhku masuk bilik kamar yang sudah lama tak kutempati itu. Mamak meneriakkan betapa memalukannya diriku, betapa aku membuat rusak keluarga kami.
Kata Mamak, mereka yang bergunjing itu benar. Aku perempuan gila. Gila tampang rupawan, padahal aku jadi tak bisa makan. Mana kutahu Saleh yang tampan itu berbuat bejat begitu? Kenapa semuanya jadi salahku?
Mamak tak pernah bicara padaku lagi sampai aku melahirkan. Setelah bayi mungil yang cantik itu lahir, Saleh datang ke rumahku. Kupikir dia akan memohon ampun. Kalau dia minta ampun, kali ini aku akan memaafkannya. Tapi ternyata tidak, dia justru menceraikanku. Bahkan tidak melihat bayi kami sedikit pun. Mamak hanya menatapku dengan tatapan campuran iba dan puas.
Kepalaku pening, oleh tangis bayi dan statusku yang tiba-tiba menjadi janda. Hilang sudah gelar kembang desa yang kusandang. Sekarang aku menyandang status baru, janda kembang. Sama-sama kembang tapi berbeda makna. Ya sudah, yang penting kembang. Artinya aku cantik luar biasa. Besok lusa pasti aku bisa menikah juga.
Mamak dan Bapakku berniat menjodohkanku dengan Cokro, duda beranak tiga yang lebih tua dariku entah sepuluh atau dua puluh tahun. Katanya hanya dia yang mau denganku, janda beranak satu. Cokro itu tak punya anak perempuan, jadi dia mau menerima anakku. Sungguh penghinaan. Meski janda, aku bukan perempuan sembarangan. Aku wanita terhormat, janda kembang yang cantik. Tak peduli apa kata Mamak dan Bapak. Kutolak saja lamaran bodoh itu.
Aku pergi ke pasar dengan Mamak. Aku melihat Saleh sedang bersama Sari. Kata orang-orang mereka sedang pendekatan. Bisa menikah kapan saja. Huh, sialan. Lihat saja, aku bisa mendapatkan yang lebih baik. Kulihat Rahmat sedang berdagang. Kusapa saja dia. Rahmat patah hati padaku setahun lalu, sekarang aku akan mengobatinya. Aku yakin Rahmat akan luluh dengan paras cantikku. Aku juga bisa hidup senang, hidup mewah, karena dia kaya.
“Sudah lama tidak bertemu. Sekarang aku sudah menjadi janda. Aku siap menikah dengan kau seperti ajakanmu waktu itu,” ucapku setengah menggoda. Rahmat hanya menaikkan sebelah alisnya. Tak lama kemudian seorang wanita berdiri disisinya, wajahnya tak cantik, tapi manis. Perutnya buncit, seperti sedang hamil.
“Ini istriku, Nita.”
Tiga kata itu meruntuhkanku. Gara-gara itu, warga kembali menggunjingku. Lagi-lagi aku menjadi perempuan gila, karena berani menggoda suami orang di tengah pasar yang ramai. Sekarang, aku bukan janda kembang, tapi janda gila. Aku pulang karena malu. Mamak dan Bapakku tak kalah malunya. Mereka bilang aku tak boleh keluar lagi. Apalagi sekarang ini aku senang pergi keluar hanya dengan selembar kain saja. Aku ingin memamerkan kecantikanku, siapa tahu ada yang mau bersanding denganku.
Begitulah kisahku. Ceritaku bagaimana menjadi perempuan gila. Perempuan yang sekarang dikurung di kamar, terpasung dan tertawa-tawa sendiri. Iya, aku, perempuan gila.