Masukan nama pengguna
Secangkir kopi yang ada dihadapanku sudah mulai dingin. Aku pecinta kopi garis keras, namun kali ini rasanya sangat tak berselera meneguknya.
"Menurut kamu, kapan sebaiknya aku datang menemui orang tuanya, Ra?"
"Hm...lebih cepat lebih baik Dhio," jawabku seadanya.
Aku mencoba untuk bersikap biasa saja, tapi tentu tidak dengan hatiku yang kini hancur lebur. Dhio bukan hanya sekadar teman bagiku. Tapi juga sahabat sekaligus cinta pertamaku.
Aku bisa apa? Jika kini aku harus menemui fakta kalau dia mencintai wanita lain. Aku juga terlalu takut untuk jujur, karena khawatir Dhio menjauhiku.
Bisa apa aku selain mengikhlaskan semuanya dan menepis jauh-jauh harapanku untuk bisa bersamanya.
"Kamu kapan ada waktu? Temenin aku ya?"
Wait? What? Why Me?
Aku tahu dia memang hidup sebatang kara di sini. Kedua orang tuanya sudah meninggal beberapa tahun lalu. Dia juga tidak punya kakak ataupun adik. Sedangkan Paman atau Bibinya juga berada jauh di negeri seberang.
But, why me? Apa dia tidak tahu kalau aku sedang mati-matian untuk mengontrol perasaanku sendiri agar tidak menangis sekarang.
"Ayolah Ara, temenini aku."
Aku menggeleng pelan,"Maaf Dhio, aku nggak bisa."
"Why?"
Aku menghela nafas panjang, rasanya sangat ingin aku ungkapkan perasaanku selama ini. But No! Aku tak ingin dia merasa kasihan padaku.
"Nggak kenapa-kenapa, aku cuman lagi sibuk banget sama kerjaan aku. Kamu pergi sendiri aja ya," jawabku sambil tersenyum.
"Aku yakin, kamu pasti di terima dengan sangat baik sama orang tuanya. Semangat!!"
Ya, aku bisa apa? Selain mengikhlaskannya bersama orang lain. Mungkin terdengar klise, tapi aku ikhlas melepasnya demi kebahagiaannya.
Waktunya aku melupakan perasaan yang sudah ada sejak 10 tahun lalu ini.
Selamat tinggal cinta pertamaku. Aku harap kamu bahagia dengannya.
End.