Cerpen
Disukai
1
Dilihat
2,169
Aktentas Hitam
Aksi

Jam dinding menunjukkan pukul sebelas siang ketika seorang pria bersetelan hitam perlahan membuka mata. Ia menatap langit-langit, tepatnya di sebuah ruangan tempatnya terbaring. Indera penciumannya merasakan aroma eukaliptus yang natural. Dari balik kaca jendela, ia bisa melihat pemandangan salju yang turun dengan lembut. Ia lantas memegangi kening sambil menggumam di manakah gerangan dirinya kini berada.

Sang pemilik rumah yang mendengar ia menggumam, berjalan mendatangi dari balik ruangan yang lain. "Oh, kau sudah sadar?" tanyanya.

Pria itu tidak menjawab. Kepalanya masih terasa pening akibat kesadarannya belum kembali sepenuhnya.

Kemudian, sang pemilik rumah menghilang lalu tak lama kembali dengan membawa sebuah baki berisi makanan. Diletakkannya di atas nakas di sebelah pria itu terbaring.

"Makanlah. Dari semalam perutmu belum terisi apapun," katanya. Setelah itu, ditinggalkan lagi tamunya seorang diri agar bisa menikmati makanannya dengan nyaman.

Sebagai seseorang yang terbiasa hidup dengan kewaspadaan, pria itu mencoba memeriksa makanan yang dihidangkan padanya. Semangkuk sup kentang, batinnya. Warna dan aromanya sangat normal. Petlahan, pria itu mencicipnya. Sedikit demi sedikit. Rasa sup kentangnya lebih enak daripada yang ia bayangkan sebelumnya. Dalam beberapa menit, ia menyantap sendok demi sendok dan menghabiskannya.

Setelah menyisakan mangkuk sup kosong, pria itu bagai mendapatkan kekuatannya kembali. Ia beranjak dari tempatnya—dipan kayu dengan kasur yang tidak terlalu empuk—kemudian berjalan ke luar bilik ruangan. Di situ, dilihatnya sang tuan rumah sudah duduk menunggu. Di tengah-tengah mereka, sebuah meja berbentuk persegi dengan dua kaleng bir telah disiapkan. Nyala api dari perapian di salah satu sisinya cukup untuk menghangatkan suhu dalam rumah tersebut.

"Silakan." Sang tuan rumah memintanya duduk seraya menyodorkannya sekaleng bir yang masih utuh.

Pria itu duduk. Ia membuka kaleng bir dan mulai meneguknya. Ia belum berkata apapun sementara matanya memandang sekeliling ruangan. Rumah yang sebagian besar terbuat dari itu tampak tidak terlalu besar, tetapi juga tidak terlalu kecil. Kemudian matanya tertuju pada foto keluarga yang terpajang di salah satu dinding. Sang tuan rumah mengikuti arah pandangannya.

"Itu istri dan putriku. Sudah hampir seminggu mereka sedang berlibur ke rumah mertuaku dan baru akan kembali besok."

Pria itu kemudian menatap sebuah plakat yang tertempel di sebelah foto keluarga. Ia membacanya dalam hati: Penghargaan untuk Jack Schiffer atas masa kerja selama 15 tahun sebagai petugas wesel stasiun Upper Sure Lake, Luksemburg.

"Namaku Jack." Akhirnya sang tuan rumah mengenalkan diri.

Pria itu mengangguk. Ia meneguk lagi birnya sambil memikirkan cara untuk memulai percakapan yang akan dihadapinya. Dirinya tahu, ia tak akan bisa menolak kali ini, setelah kesadarannya mulai kembali dalam pikirannya tentang apa yang terjadi semalam. Benaknya mencoba merekonstruksi hal terakhir yang diingatnya, dan itu adalah, "Aktentas ...." gumamnya dengan setengah terkejut.

Mendengar itu, Jack beranjak dari kursinya, menuju lemari yang terletak di bilik ruangan tempat pria itu berbaring sebelumnya, lalu kembali dengan membawa sebuah barang pipih berwarna hitam. "Entah apa yang terjadi dengan kalian berdua semalam, aku hanya kebetulan mengarahkan teropongku ke dermaga, sesaat sebelum kulihat tubuhmu jatuh ke air. Sedangkan orang yang bersamamu itu langsung kabur begitu mendengar teriakanku. Tidak butuh waktu lama menghampiri kalian. Benda ini tersangkut di bawah jembatan dermaga. Aku mengangkutnya setelah mengangkatmu dari dalam air."

Jack menyodorkannya kepada pria itu. "Periksalah. Tidak ada yang kuambil. Aku hanya membuka untuk mengeringkannya selagi kau pingsan."

Pria itu memeriksanya. Beberapa tumpuk uang dalam plastik bening masih tersegel rapi. Ia pun meraba sesuatu dan menghela nafas sebelum menatap Jack penuh tanya, "Kenapa?"

"Tidak, sebelum kau menjelaskannya lebih dulu. Lagipula aku tak yakin bisa menghabiskannya dengan tenang."

Pria itu mengamati raut wajah Jack. Ada kejujuran dalam suaranya dan matanya yang ia tangkap. Ia mendesah, kemudian menutup kembali resleting tas hitamnya.

"Dari namamu, apa kau orang Jerman?" Kali ini pria itu bertanya.

Jack mengangguk. "Keturunan Jerman, tapi sudah lama menetap di Luksemburg."

Ada keheningan beberapa detik di antara mereka berdua. Pria itu kemudian bertanya lagi, "Apa kau seorang patriotik?"

"Maaf?"

"Maksudku, apa kau mau melakukan sesuatu untuk negaramu, Luksemburg?"

Dahi Jack mengernyit. "Ya ... tentu saja."

"Dan kau ... bisa jaga rahasia?"

Jack menunjuk tas hitam di hadapan mereka. "Sebaik aku menjaga tas itu," balasnya.

Pria itu menarik nafas yang dalam, kemudian mengembuskannya. Ia sedang bertaruh, demi sesuatu yang menjadi risiko atas nyawanya apabila ia membuka mulut. Jelas sekali pria itu sedang menimbang-nimbang, antara membocorkan sebuah rahasia atau sebaliknya.

"Apa di sini, hanya ada kau seorang?" Sekali lagi, pria itu ingin memastikan bahwa hanya ada mereka berdua di rumah itu saat ini.

Jack membalasnya dengan mengangguk.

Kemudian pria itu bertanya lagi. "Apa kau lihat orang yang mendorongku semalam mengikutimu?"

Jack mengangkat bahu. "Aku tak tahu. Ia menghilang begitu saja dan tidak kembali."

"Baiklah," ucap pria itu dengan pengendalian diri yang cukup untuk mendominasi obrolan, "apa yang akan kuceritakan mungkin akan terdengar sedikit aneh dan diluar perkiraanmu. Namaku Peter. Aku bersama rekanku, yang kau lihat semalam, bekerja untuk VSSE alias dinas intelijen Belgia ...." Ia menjeda kalimatnya sejenak. "Apa ini mengejutkanmu?"

Ada sedikit raut terkejut di wajah Jack. "Hm, ya ... Cukup aneh memang, jika di desa yang damai seperti ini ada intelijen berkeliaran."

Kali ini, Peter berkata sambil menunjuk tato bendera di pergelangan tangan sebelah kanan. "Aku orang Belgia, tapi sedang bekerja untuk negaramu. Nah ... Sebelumnya aku ingin tahu, apa pendapatmu tentang kepemimpinan Haryapatih saat ini?"

Jack sejenak mengernyitkan dahi. Ia meminum birnya lalu berkata, "Tensu saja kami menyukainya. Ya, semua penduduk negeri ini menyukai Willem."

Terlihat sedikit senyuman dari wajah Peter. Ia lalu berkata pelan, "Pernah dengar sesuatu tentang kudeta?"

Jack mengangkat bahu. Ia enggan berkomentar.

"Semua ini tentang Luksemburg, negaramu," Peter mulai bercerita. "Lebih dari 400 tahun Luksemburg menjadi perebutan kekuasaan dari berbagai negara di Eropa. Pada tahun 1867, barulah Luksemburg memperoleh kemerdekaan absolutnya. Saat ini, Luksemburg menjadi negara yang damai, bahkan dinobatkan sebagai negara terkaya nomor satu di dunia, sekaligus satu-satunya negara yang masih dipimpin oleh seorang haryapatih sebagai kepala negara ... Namun, siapa sangka, beberapa bulan belakangan muncul desas-desus adanya sebuah usaha yang ingin menggulingkan pemerintahan sistem pemerintahan Haryapatih Willem VI. Mereka ingin mengganti sistem pemerintahan yang ada saat ini, dari monarki konstitusional, menjadi komunis absolut. Badan Intelijen Luksemburg yang dikenal sebagai SREL mengidentifikasi mereka sebagai sisa-sisa Bolshevik, sebuah gerakan yang memiliki pemikiran bahwa perubahan harus dimenangkan dengan senjata ...."

Sambil menjelaskan hal tersebut, Peter mengamati respons Jack yang mulai memandangnya tak percaya. "Di sini?" tanyanya.

Peter mengangguk sambil meneguk birnya. "Ya. Dua puluh tahun yang lalu, dikatakan bahwa Luksemburg pernah menandatangani sebuah pakta kesepakatan dengan salah satu negara Balkan. Aku tidak bisa memberitahukan detailnya seperti apa, yang pasti, selama bertahun-tahun dokumen kesepakatan ini disimpan dengan sangat baik. Namun, siapa sangka, belakangan diketahui, dokumen inilah yang sebenarnya sedang diincar oleh Bolshevik. Mereka ingin menggunakannya sebagai provokasi untuk memicu demonstrasi besar-besaran tepatnya dua hari lagi, yaitu tanggal 23 Januari, bertepatan dengan hari kemerdekaan Luksemburg di akhir musim dingin. Kesempatan inilah yang diharapkan oleh Bolshevik dapat memaksa Haryapatih Willem VI untuk mundur dan melepaskan jabatannya."

Penjelasan Peter membuat Jack benar-benar terkejut.

"Kemudian ada hal lain," lanjut Peter. "Beberapa informasi bocor dari dalam. Pemerintah Luksemburg menduga bahwa pihak Bolshevik kemungkinan besar telah menyusup ke bagian dalam pemerintahan. Kecurigaan ini muncul setelah SREL dinonaktifkan terkait adanya skandal keamanan negara. Pemerintah sudah tidak bisa bergerak bebas. Atas dasar itu, Haryapatih secara diam-diam meminta bantuan kepada Jerman dan Belgia supaya mengutus intelijen mereka, BND dan VSSE, untuk menitipkan pakta dokumen ke dua negara tersebut. Pakta dokumennya terdiri dari beberapa lembar yang dipisah menjadi dua bagian, dan masing-masing dibawa dalam dua aktentas yang berbeda: aktentas berwarna merah untuk Brussel, sedangkan satu lagi ...." Peter mengeluarkan berkas berlapis plastik yang terselip di salah satu lipatan aktentas hitam di hadapan mereka. "... Dokumen ini harus sampai ke Berlin besok."

Mata Jack membulat sempurna. "Jadi, benda yang kukeringkan seharian ini ... dokumen rahasia negara?"

Peter mengangguk. Kemudian ia menunjuk tumpukan uang dalam aktentas. "Ya, dan ini semua adalah uang palsu."

"Ya Tuhan," gumam Jack.

"Terlihat mirip sekali dengan uang asli, bukan? Karena uang-uang palsu ini juga terbuat dari bahan yang sama dengan uang asli, dan warnanya tidak mudah luntur jika terendam air. Namun, seperti kebanyakan uang palsu lainnya, uang ini tidak lolos uji sinar ultraviolet, tanda air, serta hologram pada benang pengamannya."

Jack mengamatinya dengan saksama. Ia mengangguk. "Betul juga. Tidak ada."

"Uang palsu ini membuat rencana-rencana mereka jadi lebih mudah."

"Tapi untuk apa?" tanya Jack masih belum mengerti.

"Tentu saja ... untuk mencari massa," ungkap Peter dengan mata sendu. "Dua agen BND sudah lebih dulu mengantarkan dokumen ke Brussel. Sedangkan aku dan Mitchel, orang yang kau lihat berseteru denganku semalam, bertugas mengantarkan dokumen ke Berlin. Awalnya kami memang diberitahu bahwa ada 'beberapa lembar' uang palsu yang dikirimkan bersama dokumen sebagai bukti untuk meyakinkan Belgia dan Jerman bahwa Bolshevik sudah bergerak terlalu jauh. Namun, saat aku dan Mitchel memeriksanya, seperti yang kau lihat, bukan cuma beberapa lembar, tapi 5.000 Euro. Kami berdua sangat terkejut. Drama pun terjadi saat kami berdua hendak melintasi danau di desamu ini, Mitchel tiba-tiba mengusulkan sesuatu. Dia bilang bahwa kami tidak harus menyerahkan semua uang ini, memisahkan sebagian dan menyisakan 'beberapa lembar' saja sesuai isi pesan awal yang kami terima. Aku jelas menolaknya. Kami berdebat, sampai akhirnya dia bersikeras merebut aktentas. Aku melawannya hingga dia mendorongku sekuat tenaga. Kakiku tergelincir dan aku terjatuh ke dalam air bersama aktentas ini yang ikut terlempar ke danau. Kepalaku terbentur dan kukira aku bakal mati seandainya kau tidak datang menolongku."

"Dan rekanmu langsung kabur mendengar teriakanku," sela Jack.

"Betul. Tapi cepat atau lambat, kami pasti akan bertemu lagi. Sekarang, ada hal yang kucemaskan tentang aktentas ini. Aku tak bisa membawanya lagi bersama Mitchel. Setelah apa yang terjadi, aku tak bisa mempercayai sepenuhnya lagi pada Mitchel. Aku tidak bilang dia berkhianat, hanya saja aku merasa dia punya kepentingan lainnya."

Jack menarik aktentas di tengah-tengah mereka menuju sisinya seraya menatap Peter lekat-lekat, "Kau tahu, mendengar penjelasanmu barusan, ada hal yang malah membuatku meragukan ceritamu ... Bagaimana aku bisa tahu bahwa kau memang bukan salah satu dari mereka? Bagaimana jika kau, dan bukannya Mitchel, yang menginginkan uang ini?"

Peter meneguk birnya dan berkata dengan murung, "Mon Dieu, sudah kuduga kau akan berkata begitu. Sebagai seorang pria, kau tak akan percaya begitu saja dan mengira aku memutarbalikkan cerita, ya? Kau meminta bukti, apakah aku orang baik atau orang jahat ...." Peter mengetuk-ngetuk meja dengan pelan. "Makanya tadi kutanya apa kau seorang patriotik."

"Apa hubungannya?"

"Begini, bagaimana jika aku meminta kau melakukan sesuatu? Kau akan tahu aku berdiri di sisi mana. Jika aku melakukannya seorang diri, maksudku bersama Mitchel, aku kuatir aktentas ini tidak akan sampai ke Jerman dengan utuh. Nah, biarkan aktentasnya tetap di sini sampai aku mengambilnya lagi, paling cepat besok malam. Aku akan mengurus Mitchel dulu."

"Mengurus Mitchel?"

Peter menatap Jack lekat-lekat. "Bukan seperti yang kau bayangkan."

Jack menggeleng. "Tidak. Besok siang istri dan anakku sudah kembali. Aku tidak ingin mereka tahu ataupun terlibat dengan hal ini."

Peter mendesis. Ia menghabiskan birnya sebelum sebuah tarikan nafas yang berat dan hampir putus asa terdengar darinya. "Baiklah. Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita."

***

Keesokan paginya, Jack menuju tempat kerja seperti biasa. Masih ada beberapa jam sebelum istri dan putrinya tiba di rumah. Ia memeriksa jadwal keberangkatan kereta kargo yang setiap dua hari sekali berhenti di stasiun untuk mengangkut paket serta surat-surat menuju Berlin. Sepuluh menit lagi kereta itu akan berangkat. Jack berjalan menuju salah satu gerbong dan menaikinya.

Instruksinya sudah jelas. Gerbong bagasi nomor 2.

Jack mengeluarkan bungkusan plastik pipih berwarna hitam dari balik mantel cokelatnya, kemudian menyelipkannya di antara plat besi bagian dalam gerbong. Lalu ia turun, meniup peluit pada sang masinis sebagai tanda kereta kargo siap berangkat.

Kereta kargo akan tiba di Berlin dalam tiga jam, dan Kedutaan Jerman sendiri yang akan mengambilnya di sana.

Jack mencoba mengingat lagi percakapan terakhirnya dengan Peter semalam, sebelum pria Belgia itu pamit dan berterima kasih. Peter juga meminta Jack mengirim pesan melalui mesin telegraf stasiun ke Kedutaan Jerman. Peter berkata bahwa ia akan selalu mengenang tindakan patriotik Jack.

***

Berita utama: 23 Januari, Perayaan Hari Nasional Luksemburg Berlangsung Meriah!

Pada penghujung musim dingin, sambil duduk di bangku teras rumah yang menghadap danau Upper Sure dan menikmati secangkir kopi yang disuguhkan istrinya, Jack membaca tajuk utama surat kabar yang baru diterimanya dari loper koran keliling. Tampak foto-foto bahagia Haryapatih Luksemburg beserta keluarga. Ada pula berita mengenai ditangkapnya beberapa menteri atas dakwaan penerbitan dan pengedaran uang palsu. Jack berpikir bahwa Jerman dan Belgia telah berhasil membantu Luksemburg melewati masa-masa sulitnya.

Kemudian, Jack membalik lembaran koran hingga pandangan matanya tertuju pada berita yang lain. Pupil matanya tiba-tiba membesar. Berita itu cukup mengejutkannya. Foto penemuan sesosok mayat pria tidak dikenal di sebuah bebatuan cadas yang berjarak sekitar 10 kilometer darai rumahnya. Penyebab kematiannya yaitu dua luka tembak menembus jantung. Jack menahan nafas saat ia mengenali dengan jelas pakaian serta tato bendera Belgia pada pergelangan tangan sang mayat.

TAMAT

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)