Masukan nama pengguna
“Sampai kapan kamu bermain-main dengan pel*cur itu, Mas?!”
Bersamaan dengan teriakan seorang wanita berusia 35 tahun, terdengar suara keramik pecah membentur dinding. Sungguh kacau keadaan ruang keluarga sebuah rumah sederhana di tepi kota kecil itu. Vas bunga pecah berkeping-keping di seluruh ruangan, air pun tumpah di mana-mana, di tembok, sofa, dan lantai. Sepasang mata kecil hanya mampu berkaca-kaca mengintip dengan tubuh gemetar melalui sela pintu kamar yang sedikit terbuka.
Wajah cantik wanita berambut hitam sekelam langit malam itu begitu sembap karena sejak tadi menangis. Napasnya naik turun tak tentu, sebagaimana takdirnya yang sungguh menyakitkan. Hati wanita mana tak luka, saat suami tercintanya jauh lebih memiliki rasa cinta yang menggebu pada perempuan lain, terlebih, pada seorang penjaja malam.
Pria 38 tahun berpostur tegap itu hanya mampu duduk mematung di lantai yang dingin dalam kemelut rasa yang tak terdefinisi. Wibawanya hilang beterbangan bersamaan dengan lemparan bantal terakhir dari sang istri. Angan pria itu mengelana jauh pada tempat lain di luar sana, sama sekali tak peduli akan semburan kata-kata sang istri yang kacau meneriakkan seisi kebun binatang. Kelihatannya, wanita itu sudah tak peduli tetangga sekitar akan mendengar permasalahan keluarga mereka.
“Aku tidak mau meninggalkannya.”
Hingga akhirnya, kalimat setajam pisau itu meluncur ringan dari bibir pria berwajah rupawan itu, membuat tubuh sang istri yang tadinya berdiri mendominasi, merosot lunglai ke lantai tanpa daya.
Teriakan histeris wanita itu memenuhi seluruh ruangan, menembus dinding, menembus malam. Seorang anak kecil berusia sepuluh tahun yang sejak tadi menyembunyikan dirinya pun berlari keluar kamar memeluk sang ibu dengan air mata mengalir deras.
Tanpa mereka sadari, sesosok bayangan bersembunyi di antara semak dekat pagar rumah mendengar seluruh percakapan mereka. Bayangan sesosok wanita muda yang kini terisak pilu dengan batin kacau balau. Bingung. Entah apa yang harus dilakukannya.
***
“Anne!”
Itulah kali pertama mereka bertemu. Pertemuan hina tetapi tanpa disadari, menggetarkan hati keduanya. Wanita muda berusia 22 tahun berkulit seputih pualam itu pun bangkit dari duduknya memenuhi panggilan sang madam. Awalnya dia tak tahu, karena dia memang tak pernah dan tak merasa perlu tahu laki-laki macam apa yang akan dia temui. Entah bapak-bapak bertubuh gendut, laki-laki kurus dengan penampilan bagai preman, atau jika beruntung, mendapat pelanggan seorang pria tampan dan banyak uang.
Seperti biasa, bibir tipisnya mengulas senyum manis pada pria yang akan dia temani. Namun, tak seperti kebanyakan tamu-tamu sebelumnya, ada sorot berbeda dari tatapan pria itu padanya. Tatapannya tajam menghanyutkan rasa. Hingga tanpa dia sadari, dadanya berdebar tak menentu saat tangan kekar pria itu menggenggam erat jemari lentiknya untuk menuju area dansa.
Di bawah sinar lampu yang berkilat-kilat, mereka berdansa bak pasangan kekasih yang telah lama bersama. Tatapan mereka berdua bertemu, berserobok, membuat dentuman jantung makin bertalu-talu seiring musik yang terputar.
Wanita muda itu menunduk karena tidak tahan menerima tatapan penuh kharisma dari tamunya. “Apa ada yang salah dari saya? Anda menatap saya seolah serigala yang siap memakan mangsanya.”
Pria itu tertawa kecil. Entah hal bodoh apa yang kini merasuki dirinya. Tak biasanya dia berdebar saat bertemu seorang wanita, terlebih, pada seorang wanita malam. Ini pun bukan kali pertama dia ‘jajan’. Dan hal paling konyol, dia telah beristri, tetapi debaran itu bahkan tak pernah dia rasakan pada istrinya sebelas tahun bersama.
“Jadi, namamu Anne?” Pertanyaan itu meluncur perlahan dan lembut di antara dentuman musik yang hingar binger, hanya bisa didengar oleh Anne.
“Bukan. Itu hanya nama samaran saya di sini,” jawab wanita muda itu dengan tetap menunduk menyembunyikan pipinya yang sedikit merona di antara remang lampu ruang dansa.
“Lalu, siapa nama aslimu?”
“Untuk apa tahu nama asli saya?”
“Karena aku terpikat pesonamu.”
Wanita itu kini mendongak karena pria itu lebih tinggi darinya. Gerakan dansa mereka terhenti, tetapi belum melepaskan rengkuhan tangan dari tubuh satu sama lain. Dia menatap mata pria itu dengan intens, mencari kesungguhan yang mungkin saja itu hanya sekadar bualan semata dari seorang tamu yang menginginkan dirinya.
Wajah pria itu mendekat perlahan pada wanita muda di hadapannya, memberi sentuhan lembut yang takkan pernah mampu dibayangkan oleh siapa pun. Sejurus lamanya mereka tetap di posisi masing-masing, hingga akhirnya mereka berdua memutuskan masuk ruang penuh rahasia untuk menuntaskan segala rasa.
***
“Baik, kalau itu maumu,” ucap wanita dengan rambut indahnya yang telah acak-acakan sedemikian rupa karena berteriak histeris sembari menjambak rambut hitamnya yang panjang sepinggang. Wanita itu bangkit berdiri, tatapan matanya kini tak terlihat lagi ada cinta, yang tersisa hanya kemarahan yang menggelegak di dalam dada. “Lihat saja apa yang bisa aku lakukan.”
Sekian hari berganti. Malam itu udara begitu pengap dan lembap. Sepertinya akan turun hujan beberapa jam ke depan. Namun, udara tak nyaman itu tak menghalangi rindu seorang pria untuk menemui kekasihnya.
Di taman ini akhirnya mereka bertemu. Dengan dress selutut warna krem yang manis, wanita muda itu tersenyum menatap pria yang baru saja tiba. Mereka saling memeluk sejurus lamanya sebelum akhirnya melangkah mengitari sekeliling taman.
Taman itu begitu sepi, tak seperti hari-hari biasanya. Meski ada saja beberapa orang yang datang, tetapi seketika pergi begitu saja. Mungkin karena udara yang tak cukup nyaman membuat mereka malas pergi ke mana-mana, terlebih ini musim hujan. Di mana tak bisa diperkirakan kapan hujan akan turun.
Mereka mengobrol mesra dengan sekali-sekali tertawa kecil menyela percakapan. Enam belas tahun jarak usia mereka tak membuat percakapan mereka kaku. Sembari saling menggengggam jemari, tangan mereka terayun-ayun bak sepasang anak muda yang baru saja mulai berpacaran.
Tiba-tiba, suasana menegang. Beberapa orang bertubuh besar berdiri di hadapan mereka membawa balok kayu. Sebagian ada yang membawa pisau. Sepasang kekasih itu sedikit ciut, tak mengerti akan apa yang terjadi. Namun, reflek langkah mereka berdua mundur meski pada akhirnya terbentur oleh tubuh preman lainnya yang ternyata juga berdiri di belakang.
*
Gerimis mulai turun rintik-rintik. Wanita pemilik nama samaran Anne itu meringis nyeri karena seluruh tubuhnya makin sakit bagai tersayat-sayat, terlebih area perutnya begitu panas dan nyeri. Kala dia membuka mata, terlihat rembulan sabit di atas sana sedikit mengabur. Dia mencoba bangun dari posisinya yang telentang, tetapi tidak bisa. Tulang-tulangnya terasa remuk. Hingga akhirnya, digerakkannya kepala dan menemukan kekasihnya telungkup tak jauh darinya.
Air matanya merebak. Tubuh pria itu bersimbah darah diguyur gerimis yang makin deras. Jemarinya berusaha meraih tangan kekar yang telah berusaha melindunginya tadi. Meski dengan susah payah, akhirnya jemari mereka bertemu.
Wanita muda itu menggenggam erat jemari kekasihnya, seolah-olah itu adalah genggaman terakhir. Gerimis makin deras, menjelma menjadi hujan. Dengan lirih dan bergetar, bibirnya berbisik, “Terima kasih, telah mencintai wanita hina sepertiku.”
Tanpa Anne ketahui, pria itu meneteskan air mata sebelum akhirnya mengembuskan napas terakhir. Pandangan mata Anne pun menggelap.