Masukan nama pengguna
Usia kita yang semakin dewasa, kadang tidak ada satupun memikirkan hal-hal yang berbau romansa. Kita seperti telah menikmati zona nyaman yang baru. Karier yang cemerlang, membuat kita bagaikan terbang di atas awan, lupa semuanya. Sampai pada akhirnya kita sadari, bahwa kita itu terbang dalam kesendirian. Kita ternyata butuh teman yang bisa membawa kita menikmati indahnya duniawi, sampai ujung yang paling indah. Aku mulai merasakan itu, saat aku melihat orang-orang menggandeng tangan sesuatu yang mereka cintai, dengan gelak tawa yang lepas seolah-olah mereka bagaikan kumbang dan bunga yang tak dapat dipisahkan. Hati mereka terikat, dan memulai semuanya dari titik paling awal hingga benih-benih cinta tumbuh di antara keduanya.
Aku, ingin sekali memulai kisah romantis seperti wanita pada umumnya. Dulu, aku pernah menjalin cinta dengan seseorang. Namanya Noorshan. Waktu ada dia, aku merasa terjaga meski jarak yang menghalangi kami. Namun, ternyata takdir berkata lain. Dia tidak akan pernah menjadi miliku, sebab ada gadis lain yang telah berada disampingnya kala kami jauh. Aku menyesal telah membiarkan dia sendirian dalam penantian yang panjang. Aku hanya bisa berandai-andai kalau aku ada disampingnya, mungkin aku akan menikmati panorama yang telah mulai menciptakan gambaran seutas impian yang pernah aku harapkan.
Namaku Widya. Usiaku 27 Tahun. Setelah aku tamat kuliah, aku mengabdikan diriku pada desa yang menjadi tempat aku tinggal kini. Sekarang aku sedang berlibur bersama rombongan ibu-ibu, dalam satu bus. Posisi navigasi bus saat ini berada di Padang Panjang. Para penumpang, sedang bernyanyi beberapa tembang yang liriknya terpampang pada TV layar LCD 21 Inch, dengan microphone. Ibu-ibu itu sengaja berjoget ria sepanjang perjalanan, lantaran mereka itu aslinya pemabuk. Kalau tidur, pasti bawaannya muntah.
"Rusuah bana den mandapek mimpi, nan datang tadi malam"
Lagu Sayang Babagi Duo. Mereka menyanyikan lagu tersebut dengan versi remix. Aku yang sedari tadi menahan rasa sakit di perut, diam saja. Ini adalah hari setengah sial. Lantaran, ada sebuah penyesalan di mana sebelum aku pergi bersama mereka, aku minum kopi dan sempat bergadang. Apalagi ketika aku hendak ingin tidurku, ibu kandungku yang pada saat ini ikut juga, membangunkan lantaran aku dipaksa untuk turun, supaya aku harus buang air kecil terlebih dahulu. Mata sudah mengantuk, perlahan-lahan mulai terpicing. Tiba-tiba ibuku menyeretku untuk keluar karena bus sedang berhenti.
"Widya, ayo turun sebentar! Pipis dulu"
"Ibu aku sedang ngantuk."
"Pipis dulu, nanti kita lama berhentinya"
Mau tidak mau, aku harus turun lewat pintu belakang. Sebab, kalau lewat pintu depan orang mengantri untuk masuk. Baiklah, aku akan turun. Tapi saat itu, aku kepikiran sekalian mencari obat pereda sakit lambung. Sedari tadi aku sudah merasa ingin mengeluarkan isi perutku. Namun tidak bisa lantaran aku harus buang air kecil, dengan waktu yang amat singkat. Aku berada dikamar mandi selama beberapa menit saja. Setelah itu ku pasang celanaku, dan keluar. Sesampainya di luar, mataku sedang mewanti-wanti apakah ada obat yang sedang aku butuhkan? Rupanya tidak ada. Berarti, aku harus mengganjal perutku berkali-kali dengan asupan makanan. Yah, beginilah aku. Sebenarnya ini bukan magh biasa lagi. Tapi udah ke tahap gerd, di mana asam lambung sudah menguasai area diafragma.
Semuanya kembali masuk ke dalam mobil. Aku duduk di dekat jendela, di mana dalam keadaan posisi menutupi wajahku dengan kain gorden. Ibuku, ikut berjoget mengikuti dendang lagu yang dinyanyikan oleh teman-teman yang lain. Aku memicingkan mataku berkali-kali. Tapi waktu istirahatku diganggu oleh seorang anak, yang mungkin usianya sekitar 9 tahun. Wajah anak itu tampan, pipinya tembem, dan bulu matanya lentik. Postur tubuh anak itu, mengingatkan aku pada seorang anak laki-laki yang suaranya masih terngiang-ngiang dikepalaku.
Sempat aku menutupi wajahku sejenak, entah kenapa aku menangis kala melihat wajah anak satu ini. Seorang anak yang pernah ku temui 15 tahun yang lalu, menjadi hantu dan menghiasi mimpi-mimpi malamku. Aku menangis sambil menatap pemandangan perbukitan, rumah-rumah yang berjenjang, dan piringan sawah yang tertata rapi. Ada apa ini? Kenapa ketika aku melihat wajah anak kecil dadaku sesak?
Anak itu mencoba membuka membuka kain gorden yang ku pegang dengan erat. Dia mencoba mengajakku bercanda, seperti aku melakukannya pada anak-anak lain. Ku biarkan airmata ini berlinang. Bayangan anak kecil yang hadir 15 tahun yang lalu, perlahan-lahan menyiksa batinku. Sehabis menangis tanpa ada orang yang tau. Aku menghapus air mataku, lalu mengajak anak itu bercanda. Aku tidak terlihat dingin kok. Aku sangat menyukai anak-anak, lantaran kelakuan mereka membuatku tertawa. Anak-anak usia 3-12 tahun ada di sini. Mereka lucu dan menggemaskan. Sejujurnya aku ingin punya juga. Tapi, calon bapaknya sedang on the way bersama wanita lain.
Namanya Fadil. Aku tak bosan melihatnya. Dia benar-benar imut, wajahnya sangat ganteng, meski kulitnya gelap. Aku mengajaknya bercanda dan bermain. Fadil tampak gembira dengan perlakuanku, bahkan ibunya juga memperbolehkan aku bersenda gurau dengannya. Namun seketika, sakit lambungku mendadak sembuh lantaran aku tertawa bahagia bersama anak ini.
Rencananya kami serombongan akan jalan-jalan ke Arau, lalu setelahnya ke Bukittinggi. Tapi kami ke Arau dulu. Pemandangan ke arah menuju Payakumbuh memang menyihirku. Hamparan sawah, dan perbukitan membuatku berkhayal selayaknya anak remaja, yang sedang bermimpi ingin merajut kasih bak film-film Korea. Ku bayangkan pria yang menjadi suami ku kelak, berlarian di sekitar sawah sambil menikmati senja dengan langit kemerah-merahan.
"Bu, aku ingin banget tinggal di sini." Ujarku dengan jujur.
"Tinggallah di sini" Kata ibuku yang menganggap bahwa aku sedang bercanda.
Sembari melihat pemandangan, serta tembang lagu dari ibu-ibu yang berkaraoke, khayalanku semakin menjadi-jadi. Jujur, aku ingin menikmati hari tuaku bersama calon kekasihku kelak di sini. Tapi kapan waktu itu akan datang? Sudah berapa lama aku nelangsa dalam kesendirian? Aku kembali melihat ibu-ibu yang menyanyikan lagu-lagu lawas. Mulai dari Rinto Harahap, Dian Piesesha, Almarhum Krishye sampai dari almarhumah Nike Ardila, bulan madu di awan biru, aku dengarkan. Diantara semua lagu yang dinyanyikan, tembang lawas yang ku nyanyikan hanya satu, Kisah Kasih Disekolah.
Tak terasa waktu sudah berlalu. Rasa kantuk jadi hilang. Kami berhenti di sebuah tempat bernama Harau Sky. Ibu-ibu, remaja dan anak-anak mulai turun. Anak-anak turun dengan riang gembira. Sementara aku terkesima dengan pemandangan yang menurutku, nikmat mana lagi yang bisa kau dustakan? Cantik sekali, seperti videklip lagu Cina yang aku tidak ingat siapa penyanyinya, yang ku ingat hanyalah judul lagunya, Mahjong.
"Wid, nanti jagain hp ibu ya."
"Ia bu. Tapi ingat-ingat ya? Jangan sampai lupa"
Ibuku itu sering sekali lupa meletakan barangnya. Di antaranya yang paling sering keteteran adalah ponselnya selalu lupa dimana letaknya. Akibatnya, barang yang sudah ku susun rapi terpaksa dibongkar kembali. Aku menyandang tas berwarna hitam, yaitu tas laptop punya adikku. Lalu aku menenteng tas lain, didalamnya berisi bekal makanan yang dibungkus rapi. Didalamnya terdapat dua sendok plastik yang disediakan untukku dan untuk mengambil lauk.
Sekarang ini, aku tidak bisa menggunakan tangan. Bukannya karena aku sok bersih, tidak ... ! Melainkan karena aku memakai gigi palsu. Insiden kecelakaan, beberapa bulan yang lalu menyebabkan aku kehilangan gigiku sebanyak 4 buah.
Aku jalan bersama dengan teman sebayaku yang sudah nikah. Namanya Marlenee. Dia kelahiran tahun 1998. Dia sudah punya anak di usia muda, yaitu sekitar di usia 21 tahun. Marlenee sudah menikah diusia yang amat muda. Kami terpaut usia 2 tahun, jadi dia berani sebut nama saja. Aku pergi jalan-jalan karena di ajak Marlenee. Dia malas bergaul dengan ibu-ibu. Padahal dia sudah punya anak yang usianya 4 tahun. Namun, dia merasa kalau dia ini masih gadis.
Ketua jalan-jalan ini, adalah kak Hilda. Dia menuntun kami semua kesebuah restoran, yang diatasnya ada tempat seperti musholla dan sekalian makan juga di sana. Aku bercengkrama bersama Marlenee, sementara ibuku bersama kawan sepantarannya juga.
Sesampainya di lantai dua, kami semua masuk ke dalam dan duduk dilantai dengan posisi santai. Sambil membuka bekal masing-masing, aku di suruh ibuku menjaga semua barang-barang yang dibawa. Jujur, punggungku terasa pegal. Tapi apa dikata, aku harus makan terlebih dahulu.
"Mama, bilo mandi-mandi?" Seorang anak perempuan yang duduk di samping ibunya bertanya. Itu adalah anak kak Tati, namanya Ashya. Dia memiliki wajah yang manis,rambut keriting tapi sedikit pirang. Usianya sekitar 4 tahun. Anak itu diberikan pisang tandan oleh ibuku, tapi tidak mau lantaran dia jatuh cinta pada lauk dari seorang anak laki-laki bernama Zayn. Dia ingin makan ayam goreng dari Zayn.
Ibunya sudah melarang dia, untuk tidak tergiur pada lauk itu. Bahkan memaksa anaknya untuk makan lauk seadanya. Namanya anak kecil, kehendaknya harus dituruti. Bahkan mulutnya sudah meracau dari tadi. Tapi untung saja, Zayn adalah anak yang baik. Dia membagikan separuh lauknya untuk Ashya.
Sembari memakan nasi dengan lahap, aku terkesima dengan pemandangan di sini. Dilantai atas ini, aku membayangkan lagi impian yang ingin aku rajut. Ku harap, aku bisa bertemu dengan orang yang tepat ditahun ini. Aku sebenarnya ingin mencari jodoh, tapi aku takut dipermainkan. Aslinya aku ini adalah korban ghosting. Makanya aku benci terlalu berharap pada manusia. Harapanku cuma satu, kalau bisa jodoh itu datang sendiri.
Kami makan selama 15 menit paling lama. Habis itu aku ke kamar mandi mencuci sendok bekas makanku. Lalu, aku melihat ibu-ibu seperti mengadakan lomba dadakan. Singkat cerita, habis lomba ibuku sudah menghilang entah kemana. Ku tanya pada orang-orang kemana dia? Rupanya dia sudah pergi mandi-mandi tanpa izinku. Aku tenteng semua barang yang dia suruh bawa ke bawah sendirian. Ku tinggalkan ibu-ibu yang masih istirahat di atas. Aku turun, dan berjalan dengan gagahnya.
Ditempat ini, ada beberapa villa dan juga rumah yang di desain warna-warni seperti rumah-rumah yang ada di Eropa. Kalau dilihat dari atas, basecamp mungkin namanya, itu seperti dunia anime. Tapi ini adalah kenyataan. Aku berjalan menuju dimana ibuku berada. Pas sampai disana, dikolam berenang, aku melihat ibu dibagian kolam khusu orang dewasa. Dia sedang menggandeng temannya dengan senda-gurau.
Aku ingin berenang, tapi takut gigi palsuku tanggal. Aku melihat teman-temanku yang lain, yang sepantaran denganku sedang berswafoto. Sementara aku, merendamkan kaki ke kolam itu.
Sebuah tembang mengudara. Mulai dari lagu-lagu yang viral sampai lagu-lagu yang pernah hadir dimasa lampau, yaitu dari Peterpan (Sekarang namanya Noah). Semua lagu yang terputar membuatku ikut bernyanyi. Tapi, yang menyihirku untuk mengingat masalalu adalah lagu Tak Bisakah. Bayangan bocah sombong itu, ada di kepalaku. Habis berenang, ibuku kemudian naik ke permukaan dan mengganti baju. Mataku dari tadi sudah tergiur pada eskrim didalam minimarket yang ada disana. Pertama aku pergi berbarengan dengan temanku. Lalu saat ibuku sudah selesai mengganti pakaiannnya, dia minta dibelikan eskrim. Aku meminta Zayn, anak usia 10 tahun menemaniku jajan.
"Ayo ikut kakak."
"Tapi aku tidak ada uang"
"Temani saja."
Aku beli 3. Untukku, untuk ibu dan Zayn. AKu berikan pada Zayn, lantaran itu adalah hadiah sebab dia adalah anak yang baik.
"Ini!" Ku berikan padanya.
"Beneran?"
"Ia"
"Terimakasih"
"Tapi jangan bilang sama teman-temanmu, kakak yang beliin"
"Oke"
Tembang-tembang lama, sebenarnya membuatku teringat akan masalalu. Hatiku terasa sesak mengingat tentang dia. Dia adalah orang yang hampir terlupakan. Kami tidak pernah bertemu. Jujur, kepalaku cukup pusing, kala mengingat dia.
Ku berikan ice cream itu pada ibu. Aku memakan Ice cream-ku dengan cepat. Habis itu, aku minta izin untuk mengganti pakaian. Sejujurnya, aku tidak suka dengan memakai baju training. Aku lebih nyaman, memakai baju gamis. Aku bertanya, dimana ganti baju. Tangannya, menunjuk ke arah ujung. Aku ke sana dengan jalan seperti laki-laki. Aku sudah berusaha jalan seperti wanita feminim. Di iringi dengan musik Peterpan atau Noah yang menggema. Oh Tuhan, kenapa aku berharap ingin bersama pasanganku di sini? Sehabis ganti baju, orang-orang naik ke permukaan. Ibuku sudah ganti baju, aku juga. Dia meminta berswafoto. Hal yang paling aku sesali adalah, kenapa aku tidak bawa kamera DSLR-ku ya? Sesudah semua orang selesai, kami naik ke dalam bus. Trip dilanjutkan ke Bukittinggi, untuk membeli oleh-oleh. Habis itu, kami pulang jam 21.00 malam. Start, Bukittinggi menuju Pariaman. Kenapa perjalanan ku dibayang-bayangi masalalu ya?
_____________________________________________________________________________
Penat dibahuku masih terasa dikala aku bangun pagi jam 08.00 WIB. Terutama bagian punggung, aku sudah tidak tahan. Aku bangun dan beranjak dari tempat tidur, mencari baju gamis yang ku pakai semalam. Aku kenakan kembali baju itu, kemudian mencari kerudung sorong. Langkah kakiku pertama kali yaitu menuju westafel. Apakah aku akan mencuci piring terlalu banyak? Karena semalam, hanya ayahku saja yang dirumah. Habis dari Bukittinggi jam Gadang kemarin, aku langsung mengubah posisi kursi 70 drajat untuk meluruskan punggung, diatas bus. Sampai dirumah, aku tidur lagi dan paginya bahu rasanya mau turun. Alhamdulillahnya, cucian tidak terlalu banyak.
Aku kembali menuju kamar, merogoh tas untuk mengambil dompet. Ku lihat, rambut ibu sudah basah, lantaran beliau sudah mandi diwaktu pagi.
"Bu, Widya keluar dulu ya?"
"Ya! Hati-hati kalau nyebrang"
Aku keluar dari dalam rumah. Pintu tidak ku kunci lantaran ibu duduk didekat jendela pintu utama. Saat aku keluar melewati halaman pekarangan rumah, aku melihat gerombolan ayam datang mengerumuniku. Ada sekitar 30 ekor datang secara berbalapan, hingga kadang kaki mereka sering terkilir.
Karena mereka adalah peliharaan ayah yang penurut, maka aku terpaksa membawa mereka kebelakang. Setelah semuanya sudah dibawa, aku kembali melanjutkan perjalanan menuju kedai dibelakang kedai sarapan NATASHA. Kebetulan, pada hari ini kakak Freda tidak buka pada hari ini jadi maklumi saja.
Beliau juga ikut denganku. Dengan santai, panas terik yang menyehatkan mulai memasuki pori-pori kulitku. Orang-orang yang tidak ikut dalam berdarmawisata semalam, bertanya bagaimana perjalananku semalam, ku jelaskan saja sangat menyenangkan. Sampai pada akhirnya, aku sampai di warung kak Dami. Dia sedang bergolek-golek bersama anaknya yang masih gadis, namanya Ciara.
"Jalan-jalan kalian kemarin ya? Gimana ? Seru?"
Kak Dami memang tidak ikut lantaran Ciara sebentar lagi mau kuliah. Tentu, kebutuhan anaknya yang paling utama. Sudah berapa kali Kak Dami ini diajak, tapi dia punya alasan yang kuat untuk anaknya. Beda dengan satunya lagi, dia tidak mau pergi karena 1000 alasan. Padahal seru, karena mereka memang bisa diajak bercanda.
Sebenarnya, aku tidak mau menceritakannya. Ku lihat dari raut wajahnya, beliau tampak menyesal kenapa ia tidak ikut serta dalam acara semalam. Aku ceritakan apa adanya, bahwa kami bahagia.
"Kakak lihat, orang nyanyi-nyanyi digrup"
"Ia kak"
Tambah menyesal lagi dia. Cengkrama dipagi hari menyebabkan raut wajahnya yang terpancar kalau dia menyesal tidak ikut. Padahal anaknya juga sudah menyarankan ikut saja, karena pemandangannya bagus. Hari berikutnya, dia juga begitu karena saking penasarannya. Akhirnya sebuah kata yang terlontar dari mulutku mulai keluar.
"Kakak menyesal ya?"
Seketika dia diam seribu bahasa. Sampai di rumah, aku mencuci piringku dulu. Baru makan. Cuci piring sudah selesai, dan aku mulai duduk santai dengan ibuku. Pada saat yang bersamaan kak Frida datang untuk mengembalikan uang yang telah ia pinjam.
Saat kak Frida curhat, aku bercerita tentang apa yang aku alami.
"Tampaknya Kak Dami menyesal, karena tidak ikut." Ujarku.
"Kenapa begitu?" Tanya kak Frida heran.
"Ia, soalnya selama dua hari ini dia bertanya bagaimana perjalanan kita?"
"Kemarin sudah di ajak dia nggak mau, ada saja alasannya." Ujar ibuku sambil membersihkan ikan Bada.
"Alasannya karena uang habis. Padahal teta kemarin jajannya juga gak banyak"
Nasi telah menjadi bubur, saat ini Kak Frida dalam diambang penyesalan yang amat dalam. Sambil membantu ibu masak, aku kemudian membantu ibu melakukan hal yang lain seperti membuka buah Belijo. Di saat yang bersamaan, Kak Frida pulang. Saat kakak itu pulang, ibu menyebutkan bahwa beliau malu disebut royal kalau ada uang. Padahal memang kenyataannya. Contohnya, berapa kali ibu menambahkan uang jajannya kepadaku saat kami berada di Bukittinggi. Orang sederhana itu, kebanyakan menipu.
Aku membuka buah belijo yang rencananya akan dijual. Kalau seperempat kilo, ibuku mau menjual dengan mematok harga Rp.15.000,00. Dia menjualnya kepada seorang wanita yang ada disungai Laban. Biasanya, ibu akan membukanya dengan menggunakan pisau Cutter. Namun, aku tak mau menggunakannya, lantaran buah itu licin kalau dibuka menjadi dua. Jadi tanganku sering sekali mengalami luka hebat akibat membukanya.
Sekarang, aku membukanya dengan menggunakan tangan yang dilekatkan sarung yang terbuat dari kantong kresek. Selain aman, kerja seperti ini jauh lebih cepat daripada menggunakan pisau. Ini sebenarnya pekerjaan yang lumayan membosankan. Tapi mau bagaimana, kalau tak dikerjakan aku takut ibu marah dengan menggunakan kata terserah.
Kalau sudah berbicara seperti itu, pahami sajalah. Kata terserah dalam kamus perempuan maknanya mau ada jilid satu sampai 40.
Memang sedikit, tapi kadang kalau buah Belijo yang berulat ini yang sebenarnya membuat geli. Tenang, aku sudah terbiasa. Bagi orang yang tidak pernah bersentuhan dengan pekerjaan seperti ini, pasti bakal melompat lompat. Semuanya sudah siap. Sisanya dikerjakan oleh ibu. Aku beranjak dari dapur menuju kamar.
Ku buka laptop sambil memutar musik. Ku putar beberapa lagu favoriteku, dan aku mulai fokus pada duniaku sendiri. Aku suka membuat puisi yang ku jadikan lagu. Kebetulan aku punya program yang digunakan untuk memainkan piano hanya menggunakan keyboard. Beberapa hari yang lalu, aku menciptakan sebuah lagu, yang ku ucap secara spontan.
Aku agak buta nada, namun aku peka terhadap rasa. Aku mulai memahami nada ketika ada program ini. Karena dia menyajikan kunci dasar untuk memahami musik. Ku tekan keyboard-nya kemudian aku bernyanyi. Aku cocokan nada yang akan aku nyanyikan, dan suaranya mengarah pada simphoni dalam anime Naruto, My Home.
Sebenarnya, ketika aku menciptakan lagu ini seperti mengingat wajah seorang bocah laki-laki yang miri dengan Fadil. Entah kenapa aku akhir-akhir ini percaya dengan law of attraction. Investasi karena memikirkan hal yang sama berulang kali. Aku pernah memikirkan banyak anak lelaki. Tapi sampai membuatku nyaris depresi tidak pernah. Semua berawal dari mimpi yang terjadi sejak aku pindah ke sini. Dari SMP-sampai usiaku 27 tahun, pasca tamat kuliah. Orang bilang, kala kita memimpikan orang yang sama artinya orang itu merindukan kita.
Namun aku tidak percaya akan hal itu. Dalam hatiku, mana mungkin bocah itu merindukan aku? Mustahil! Anak laki-laki yang berwajah tampan dimasa lampau, menjadi bunga tidur tanpa aku membayangkannya. Ini benar-benar mengganggu, bahkan aku sampai sekarang menunda untuk mencari pasangan lantaran aku takut dianya yang menyesal.
Bocah itu bernama Karon. Lima belas tahun aku tidak bersua dengannya, membuatku menangis semalaman. Dia menyiksaku lantaran dia begitu pintar, sedangkan aku adalah gadis yang amat bodoh di mana aku sangat lemah dibidang matematika. Sekarang kami terhubung dengan kami langsung, dia sepantaran denganku 27 tahun juga.
Mencintaiku apanya? Toh, pada saat itu aku bukan gadis impiannya? Jauh! Dia langit, aku hamparan bumi. Terlihat dengan nyata, terjangkau tidak. Seharian ini aku ada dirumah, berkomunikasi dengan teman-teman satu grup literasi.
"Wid, besok ada acara dikantor desa. Hari selasa" Kata ibuku memberitahu.
Jadwalku lumayan padat. Untung saja, setelah freshgraduate, aku tidak benar-benar menganggur. Lumayan, aku dapat pekerjaan sesuai apa yang aku harapkan. Karon, kenapa kau mencoba menjadi penguasa dalam fikiranku? Padahal, aku nyarin tidak memikirkanmu sama sekali. Bukankah aku lihat di media sosial mu, kau sudah punya calon pendamping? Mengapa kau tidak fokus dengannya saja? Dia jauh lebih berarti dariku. Kita kalau bertemu sekarang bagaikan orang asing bodoh! Aku pernah, membayangkan wajah seseorang pada masa aku kuliah, dia adalah pria yang amat tampan. Namanya Jefan. Ku bayangkan indahnya rupa Jefan, eh malah Karon yang hadir. Sakit kepalaku. Bahkan aku merasa, aku bakal bertemu dengannya nanti.
Yang ku takutkan adalah, jika aku benar-benar bertemu dengan dia. Apalah jadinya bertemu dengan bocah arogan versi dewasa. Kalau berbicara dengan Karon, dia adalah bocah yang amat sempurna. Dia bisa segalanya, tapi kelemahannya dia mudah mengambil kesimpulan dengan berbagai macam persepsinya itu. Aku takut, bila aku bertemu dengannya. Demi Tuhan, aku takut bertemu dengannya untuk kesekian kalinya. Tiap malam aku menangis mengenang, kenangan apa rasanya yang berarti saat bersamanya? Jika kami bertemu, aku adalah orang yang berani menantangnya duel. Aku sudah tidak takut lagi kepada siapapun, kecuali Allah SWT yang hanya Dia yang aku takuti. Yang aku takutkan juga adalah, pertemuan kami nantinya bukan sekedar reuni. Tapi malah sebaliknya di mana pasti ada saja yang menciptakan drama.
Dari dulu, aku sudah dikelilingi oleh drama-drama bodoh yang diciptakan oleh orang-orang yang pintar memanipulasi fakta. Bahkan, hal seperti itu pernah mencoreng nama baikku. Kenangan masalalu ku indah, ketika aku sudah pindah ke Sumatera Barat. Kenangan burukku sedikit, ketika aku berada di tanah kelahiranku dulu.
Tak ada kenangan manis tentang bocah itu, yang paling menyebalkannya dia bertambah ganteng saja. Firasatku bertemu dengannya makin terasa.
_____________________________________________________________________________
Esoknya, aku tidak jadi datang ke kantor. Leher sampai pundak terasa tegang, karena aku duduk didepan layar semalaman.Sakitnya itu sampai ke kepala, bahkan aku merengek minta di urut oleh ibuku sebelum beliau pergi menghadiri rapat. Ibuku bilang, semuanya harus pergi. Tapi ini tidak bisa di toleransi, dikarenakan pundakku rasanya berat sekali. Seperti ada yang memikul beban. Sakit sekali. Aku mencoba menggerak-gerakan badanku agar peredaran aliran darah menjadi lancar. Ku coba melakukan kretek-kretek, di mana itu adalah teknik pijatan yang paling terkenal.
"Ibu pergi dulu. Semua orang pergi, nanti kau juga bakal dapat duit."
Ia, kalau acara seperti itu memang dapat duit. Tapi kesehatan ku drop sebenarnya karena leherku sakit. Ibuku kemudian pergi, dan tinggalah aku sendirian di rumah. Aku membuka akun media sosialku. Ku buka grup forum kepenulisan, dan pesan messanger yang tidak terbaca. Ada yang dari Juan, seorang pemuda berumur 18 tahun, yang semalam meminta rekomendasi musik terbaik. Ada yang dari promosi aplikasi judi online di mana dia memberikan link untuk registrasi, dan ada pesan masuk, tapi bukan dari facebook. Melainkan dari pesan Whatss App, dengan nomor yang tidak di kenal.
"Aku sudah membaca isi pesanmu yang panjang itu. Isinya benar-benar membuat aku terkejut. Aku kunjungi halaman google drive milikmu. Jadi, kau menyukai anak itu karena hanya berpura-pura untuk menutupi perasaanmu saja?"
Pesan yang amat aneh. Kenapa ada pesan seperti ini di whatss App ? Nomor yang tidak dikenal, sampai ku periksa info agar ku ketahui siapa namanya. Menjengkelkannya, yang keluar hanyalah emoticon gambar topeng kabuki. Kenapa di waktu pagi rasanya horor seperti ini? Dia kemudian, sedang mengetik pesan. Aku kemudian menjauhkan tanganku dari ponsel. Tanganku gemetaran. Ponselku, kembali bergetar hebat. Pasti orang ini sedang spam.
"Widya, aku akan bertemu denganmu setelah sekian tahun kita tak bersua. Aku ingin melihat kau, dikala kau dewasa"
Pikiranku mulai kacau. Aku mematikan paket dataku, dan mematikan ponsel. Aku keluar dengan menyembukan panik, ke rumah kak Dami. Sesampainya di luar, seperti biasa beberapa ekor ayam datang menghampiri, di mana mereka menyangka bahwa aku melakukan ini, lantaran sudah saatnya memberikan mereka makan. Padahal tidak sama sekali. Siapa itu? Siapa yang mengirim pesan seperti itu? Aku mengunci pintu rumahku, kemudian menyebrang menuju kedai Kak Dami. Setelah tiba di sana, aku melihat kak Dami sedang membuka ponsel melihat pesan-pesan di grup. Hingga beberapa saat kemudian, aku juga melihat kak Helda sedang membawa amplop dari kantor desa.
"Kak Dami, awak bali roti nan lunak ko agak limo buah( Kak Dami, aku mau beli roti sekitar 5 buah) Untuk orang-orang dikantor"
"Ia kak"
Kak Helda mulai mengarahkan wajahnya kepadaku.
"Kebetulan kamu ada di sini"
"Kak Helda?"
"Ini ada undangan dari desa. Besok kamu harus ikut wirid oke"
"Ia kak, aku akan ikut"
"Wirid besok ini, ada ustad dari Pasirpangaraian"
"Jauh banget dapat job ceramah disini"
"Sesekali kan Wid."
Ya sudahlah, apa boleh buat. Namanya agenda desa, siapapun penceramahnya aku pasti akan datang.
"Jangan lupa bawa kamera ya Wid. Kamu besok menjadi team dokumentasi"
"Oke"
Undangan itu aku terima. Jadwalku makin lama makin padat. Bahkan, aku belum sempat pergi ke Padang, untuk mengurus ijazahku. Tapi urusan ini harus diselesaikan, mengingat aku sudah kerja juga. Setelah itu, giliranku yang berbelanja. Aku biasanya membeli coffe mix untuk menghilangkan stress. Anehnya pikiranku menjadi tidak fokus gara-gara pesan itu.
"Kamu mau pesan apa Widya? Dari tadi kamu bengong aja."
Aku kemudian tersadar. Aku memfokuskan diri membeli barang yang ingin aku beli. Aku menunjuk dengan kode "Seperti biasa". Kemudian, kakak itu mengarahkan badannya benda apa yang biasanya aku beli.
Dia menyerahkan coffe mix sachet kepadaku.
"Kenapa kamu kaya orang gemetaran gitu?"
"Ah, kak. Ada orang yang ngirim pesan sama aku lewat WA. Cuman, pesannya itu aneh kak."
"Aneh kenapa?"
"Dia bilang: kamu menyembunyikan perasaan aku selama ini"
"Lah kok bisa? Coba lihat, nama kontaknya"
"Udah kak. Cuman gambar emoticon topeng"
"Ah, ya udah biarin aja. Orang iseng itu"
Ia juga ya? Kenapa aku terlalu memikirkannnya? Aneh sekali. Mungkin itu cuman salah kirim doang.
"Mudah-mudahan salah kirim. Oh ya kak, nanti aku ke sini lagi"
"Oke"
Aku pulang dan beranjak dari sana. Mudah-mudahan saja memang orang-orang iseng saja. Sesampainya dirumah, aku kembali mencari ponselku. Ku buka pola, dan kembali mengaktifkan paket data. Pas aku buka, banyak sekali panggilan whatss App yang ku periksa dari nomor orang yang sama. Kalau tertera sebanyak 15 panggilan tidak terjawab.
Ini sebenarnya siapa sih? Orang itu menelvon lagi, dan dengan wajah yang menggerutu aku terpaksa menjawabnya.
"Halo, Assalamualaikmu, ini siapa ya?"
Orang itu diam sejenak.
"Walaikumsalami" Suaranya berat, dan terkesan sangat berwibawa.
"Ini siapa ya?"
"Begini ya, suaramu ketika dewasa" Ujarnya dengan maksud yang tidak aku mengerti. APakah orang ini mengenal aku?
"Maksudnya?"
"Seperti gadis berusia 17 tahun" Nada bicaranya benar-benar berat sekali. Seperti orang yang sudah berulang kali menanggung beban hidup. Ini siapa ya?
"Ini siapa ya? Kok dari tadi gak di jawab"
"Besok aku akan bertemu denganmu di Musholla. Kau akan tau siapa aku. Dasar gadis bodoh, ternyata bodoh mu terbawa sampai dewasa"
"AKU TIDAK TAU SIAPA KAU? DASAR BODOH!!!!"
Aku menutup telvon tanpa mengucapkan kata salam sedikitpun.
_____________________________________________________________________________End POV:
Seorang pria sedang berjalan-jalan disekitar area pantai kawasan yang dimana dikelilingi oleh banyaknya pohon Aru. Dia berjalan memakai sepatu cats dan dari belakang, pria itu berambut gondrong. Jalannya amat tegap, dan dia memiliki kulit Tan-Skin. Pria itu menghadap wajahnya ke Pantai, seakan ia tidak sabar menikmati apa yang terjadi esok
To be continued season 2